The Battleground's Man

1.7K 29 6
                                    

Haiiiiiiiii!:) Ide cerita ini kudapet pas lagi belajar IPS, Perang Dunia II. Enjooy!

*

“A hard soldier is a strong soldier is a living soldier.” ― Dan Krokos, The Planet Thieves

*

Matahari sudah tidak terlihat di Timur sana. Ia telah turun ke arah Barat.

Suara jangkrik masih memecah keheningan di lorong rumah sakit ini.

Aku berjalan sendiri, mencoba menelaah apa saja yang sudah kulakukan hari ini. Mungkin bisa dibilang apa yang kulakukan setiap harinya sama. Membantu para prajurit itu makan, meminum obat, memeriksa kondisi mereka, melihat mereka yang sudah mulai pulih, dan seterusnya. Hingga akhirnya mereka dinyatakan sehat dan bisa melanjutkan tugas mereka di medan perang.

Jangan harap aku mau melakukan ini.

Yah.. bisa dibilang ini adalah perbuatan mulia. Tapi aku tak mau menyembuhkan para prajurit dari Jepang. Yang kumau adalah mengobati para prajurit dari negaraku sendiri, Indonesia.

Aku sering berfikir ‘kapan ya Negara ini merdeka?’ aku tau aku hanya bisa berfikir, berfikir, dan berfikir tanpa melakukan sesuatu untuk membantu Indonesia merdeka.

Tapi aku bisa apa?

Keahlianku hanyalah di bidang––

“Hey doctor! Help him! Tolong!” tiba-tiba seseorang berteriak.

Akupun menoleh ke belakang dan menemukan dua orang prajurit. Prajurit yang tadi berteriak kepadaku memapah prajurit di sebelahnya untuk berjalan. Prajurit itu mengeluarkan darah. Dari tangan dan… mungkin perutnya. Aku belum yakin.

Akupun berjalan tergesa-gesa ke arah mereka dan membantunya memapah.

“Dia kenapa?” tanyaku berusaha tenang.

“Dia tertembak.” Jawab si prajurit dengan logat Bahasa Indonesia yang tercampur Jepang.

Ketika aku sampai di sebuah kamar rumah sakit yang kosong, aku buru-buru memanggil para suster untuk membantuku.

“Siapa namanya?” tanyaku ke prajurit yang memapah tadi.

“Namanya Zayn. Zayn Malik. Kalau begitu aku kembali ke medan. Thanks atas your help.”

Aku mengangguk. Begitulah. Bahasa yang digunakan di sini dicampur begitu saja. Jepang, Indonesia, Inggris. Aku sudah biasa mendengarnya.

“Ouch! Doctor, please help me! It hurts!” seseorang menjerit.

OH.

Aku baru ingat.

Kemudian para suster datang, akupun segera memakai masker sederhana dari kain.

“Dia terkena peluru, dok perutnya. Sedangkan tangannya tergores pisau hutan.” Nani melapor ke arahku.

Nani adalah suster yang paling cekatan di sini.

“Oke, kalau gitu beri dia tablet bius, lalu kita keluarkan peluru itu dari perutnya.”

Nani mengangguk mendengar perintahku.

“It huuuuuuuurts! Somebody help meeeeeeeee!!” ia menjerit lagi.

Sambil melarutkan tablet bius di air hangat, aku memperhatikan prajurit yang seragamnya sudah banyak berlubang ini. Wajahnya dipenuhi oleh lebam, dengan bekas darah di sudut bibirnya. Hmm.. itu sudah biasa kulihat. Yang berbeda adalah warna dan gambar-gambar di sekujur lengan kanannya. Menurutku itu sangat menarik. Aku tidak tau apa nama benda-benda itu.

Setelah sekian lama aku berfikir, aku baru teringat aku harus memberi minuman ini kepada sang prajurit.

Akupun menaikkan sedikit kepala… hm.. prajurit Zayn dan memaksanya meminum obat bius.

Beberapa menit kemudian tak ada lagi teriakan yang keluar dari mulutnya.

Dan aku akan segera bekerja sama dengan alat-alat oprasi.

The Battleground's ManWhere stories live. Discover now