XIX

3.5K 348 6
                                    

"Yuk, kita jalan sekarang. Semuanya sudah kumpul, kan?"

Aku menghitung jumlah timku. 10 orang, termasuk aku, Tama, dan Mr Parker. "Sudah lengkap, Tam,"

Seperti saat beragkat ke Belvedere tadi, Arsen, Feri, dan Riri ikut mobil Tama.

Tama membukakan pintu penumpang depan, "Silahkan masuk, princess,"

"Terimakasih," ucapku pelan. Berusaha menahan rona di wajahku.

Arsen, si tengil itu, sudah asik bersiul-siul dari bangku belakang.

"Harusnya kota ini dinobatkan jadi kota cinta. Di bandara, festival, maupun dalam mobil, semuanya jadi punya pasangan," celetuk Arsen

"Makanya diajak dong tunangannya," balas Tama, lalu mengusap pipiku perlahan.

Duh, Tamaa!! Gak kuat kalau diginiin terus!!

"Ada yang jadi kepiting rebus, nih," kali ini Feri yang berceletuk

Aku melemparinya sebungkus tisu, tapi dia menangkapnya dengan tangkas.

"Coba lihat di sebelah kanan kalian itu," ucap Tama, "Itu shopping cetre terbesar di Mullingar. Dekat sama kantor sementara kalian,"

"Disini banyak ya yang berjalan kaki, jadi sidewalknya terpakai," ucap Riri kagum, "Eh, maksudku pavement,"

"Gue harus belajar banyak nih soal kata-kata benda dalam British English. Suka tercampur dengan American English," celetuk Arsen

"Kalian kan akan lama disini. Nanti juga terbiasa,"

Aku selalu menyukai caranya berbicara. Walaupun dalam bahasa Indonesia, suaranya yang berat dan dalam itu memberi kesan yang menggetarkan. Apalagi kalau dia berbicara dengan bahasa Inggris. Aksennya bisa membuatku meleleh.

"Are you okay, princess?"

Duh, kan!! Meleleh deh aku lama-lama..

Ketiga penumpang yang duduk di belakang terkikik, pasti karena wajahku yang sudah merona lagi.

"Aku baik-baik aja. Agak kedinginan sih tapi,"

"Padahal pengatur suhunya udah diatur panas tinggi, loh. Rapetin lagi syal kamu," ucapnya, "Fer, tolong ambilin selimut di bagian belakang. Kalian ambil juga kalau masih kedinginan,"

Feri dengan cekatan menggapai-gapai kursi paling belakang. Mengambil 2 selimut, untukku dan Riri.

Aku dan Riri mengucapkan terimakasih. Tentu saja Riri mengucapkan dengan malu-malu.

***

Setelah 10 menit berkendara dari shopping centre tadi, Tama memarkirkan mobilnya bersebelahan dengan mobil yang dikendarai Mr Parker.

Carparknya terletak di lantai dasar sebuah bangunan berwarna monokrom hitam dan putih. Ada aksen warna kuning di beberapa bagiannya, seperti bingkai jendela dan pintu. Luas lahannya mungkin sekitar 180 meter persegi, dengan taman sederhana di bagian kanan bangunan.

"Daerah sini sering macet kalau sore hari, karena masalah parkir di pinggir jalan yang berlebihan. Makanya, bangunan-bangunan baru disini membuat carpark di lantai dasar bangunan. Atau terkadang ya penggunanya terpaksa parkir di lahan atau gedung parkir," terang Tama

Aku, Arsen, Feri, dan Riri menganggukkan kepala. Mulai mendapat pencerahan desain lokal.

"Ayo masuk dulu ke dalam. Akan gue jelaskan lagi di dalam," ucap Tama sambil merapatkan jaketnya

"Tunggu, biar aku bukakan pintumu," ucapnya pelan, kali ini hanya untuk ku dengar

Kami, tanpa Mr Parker, masuk ke dalam bangunan dengan warna monokrom ini. Aku kangen dengan kantorku di Jakarta, terutama bagian rampnya. Di bangunan ini, kami harus menggunakan lift atau tangga darurat kalau ingin berpindah lantai. Padahal hanya bangunan 3 lantai.

"Kangen sama kantor. Kangen ramp, taman dalam, dan ngeliat kisah cinta Bu Dita dan Galih," celetuk Arsen

"Iseng deh lo, Sen," sepertinya Feri, "Pada baper nih jadinya kalau inget kisah cinta mereka berdua,"

Tama memandangku dengan wajah bertanya-tanya. Aku berkata pelan, "Nanti kuceritakan,".

Tama menjadi pemandu yang sangat sabar untuk kami. Kami diajak berkeliling ke lantai 1 dan 2 yang sudah dilengkapi dengan perabotan lengkap. Padahal kukira kami harus mencari sendiri perabotan untuk bangunan yang tiap lantainya seluas 120 meter persegi ini.

Lantai 1 terbagi menjadi lobi, studio kerja, ruang rapat, dan ruang utilitas. Studionya memenuhi lebih dari setengah lantai 1, karena akan kami gunakan untuk bekerja sepanjang waktu. Termasuk juga membuat maket. Tentu saja lahannya harus besar. Kira-kira perabotannya sama dengan studio kantor arsitektur pada umumnya. Meja besar untuk bekerja, mesin cetak ukuran A2, dan mesin cetak yang lebih besar lagi untuk memotong pola maket.

Begitu kami sampai dibawa ke lantai 2, kami terpekik kaget dan senang. Lantai 2 dibiarkan tanpa dinding pembatas, kecuali untuk kamar mandinya. Jendela kaca menghiasi seluruh bagian lantai 2 yang menghadap taman, memberi pemandangan yang sangat indah.

Walaupun tanpa dinding, lantai ini dapat dibagi menjadi 2 bagian. Bagian dekat lift diisi dengan kumpulan sofa dan kursi, TV, speaker dan rak buku. Lantainya menggunakan tekstur kayu yang terasa seperti rumah. Sedangkan di salah satu pojok dekat jendela ada bagian yang diberi lantai linoleum. Pantri sederhana, kulkas, dan meja bar diletakkan di bagian itu.

"Sofa dan kursi ini ringan buat kalian pindah-pindah, dan bisa diubah menjadi kasur," ucap Tama sambil mendemonstrasikan caranya, "Bisa kalian pakai untuk istirahat. Terutama kalau terpaksa menginap disini,"

Kami semua terpekik senang. Aku bahkan tidak berpikir kalau Tama akan menyewa bangunan ini, apalagi dia sampai harus membeli semua perabotan ini.

"Kukira kami akan ditempatkan di kantormu, seperti kalau kami bekerja untuk perusahaan luar Jakarta lainnya," bisikku padanya

"Tidak merepotkan, princess," dia sepertinya bisa menebak pikiranku

Tama juga sempat bilang kalau besok akan ada 2 petugas keamanan, 1 petugas lobi, dan 2 karyawan kebersihan yang akan membantu kami disini.

***

Saat timku sibuk menjelajah seluruh bagian kantor, aku dan Tama duduk di taman. Lampu-lampu taman sudah dinyalakan, padahal masih jam 5 sore. Memang sudah agak gelap sih.

Tama merapatkan syal dan jaket yang ku gunakan, lalu menarikku supaya duduk lebih mendekat ke arahnya. Dia merangkulku. Kali ini aku memberanikan diri untuk bersandara pada bahu kirinya. Bahunya begitu kokoh, dan aroma parfum yang menguar darinya begitu menenangkan.

"Kita belum pernah membicarakan tentang kepergianku waktu itu secara langsung," ucapnya, "Aku minta maaf karena pergi meninggalkan kamu,"

"Kamu kan udah minta aku untuk menunggumu, Tam. Lewat foto itu. Sayangnya aja karena aku baru baca,"

Tama membelai kepalaku perlahan, "Harusnya aku tidak pernah pergi,"

"Seenggaknya kamu sudah menjemputku kesini," ucapku

Dia melepas pelukannya, dan menatapku begitu dalam, "Setelah semuanya selesai, maukah kamu tetap tinggal?"

*** 

WANTED! Cat Biru Kesayangan AkilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang