It's Too Late

252 46 10
                                    

Aku menutup telingaku kala seorang gadis berambut sepinggang itu menceritakan segala sesuatu tentang seorang kapten tim basket kebanggaan sekolah kita, Dimitri Ryan Pradipta.

Gadis itu, Ranjana Putri Gantari, mendengus kesal kemudian menarik kedua tanganku dari telingaku agar tetap mendengarkannya bercerita tentang Dimi. "Cakra, dengerin dong!"

Aku mengangguk pasrah. "Iya, Jana. Tapi jangan lama-lama, gue bosen."

"Yah, kok gitu sih. Kan masih banyak yang pengen gue ceritain, Cakra."

Aku, Cakrawala Dewangga Prawara, teman sekolah, sahabat, sekaligus tetangga rumah Jana. Kita sudah saling mengenal lama. Jana adalah temanku semasa berada di taman kanak-kanak, sampai sekarang. Aku belum siap jika sebentar lagi, aku akan meninggalkannya.

Sekarang, kami sudah remaja. Aku tau, itu artinya, aku tidak boleh sedekat itu dengan Jana karena nantinya, kami memiliki pasangan masing-masing. Namun, siapa sangka? Rasa sayang sebagai sahabat itu berubah menja di rasa cinta?

Aku tau, tak ada lagi kesempatan bagiku untuk mendapatkan Jana. Jana hanya menganggapku sebagai teman, walaupun aku berharap lebih. Aku menyayanginya, dan aku selalu menjaganya. Dan aku takut, setelah kepergianku, tidak ada lagi yang bisa kupercaya untuk menggantikanku menjaga Jana.

"Cakra! Lo denger gak sih?" bentaknya.

Aku menoleh dengan tatapan bingung. "Apa?"

"Tuhkan, kesel!" Jana berlari meninggalkan teras rumahku. Aku tau, dia kesal. Sudah tiga jam lebih dia bercerita tentang Dimi, namun tak kudengarkan sama sekali. Aku masih bimbang, antara memberitahunya kalau aku akan pergi, atau menyembunyikannya.

Siapa yang baik-baik saja, ketika orang yang disayangnya malah bercerita tentang orang yang dia sukai?

"Jana!" panggilku. Kurasa, ini percuma saja. Jana tidak mungkin mendengar seruanku. Maka dari itu, aku memutuskan untuk mengejarnya.

Belum sempat aku mensejajarkan langkahku dengan Jana, kulihat Jana berhenti di satu titik dimana ada Dimi di situ.

Aku melihat keduanya dari balik pohon. Mencoba mendengarkan apa yang mereka bicarakan, namun hasilnya nihil. Aku tak dapat mendengar apa-apa.

Terlihat dari raut wajah Jana, dia bahagia sekali bila bertemu dengan Dimi. Bahkan jika boleh kudeskripsikan, sama seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan permen. Namun kuakui, dia terlihat lebih ceria jika berada di samping Dimi daripada denganku.

Lalu kuputuskan, aku kembali ke rumah. Aku rela, jika nantinya Jana bersama Dimi. Toh juga tidak ada kesempatan bagiku untuk bisa bersama dengan Jana. Aku yakin, Dimilah kebahagiaan Jana yang sesungguhnya.

***

Aku memandangi langit-langit kamarku. Aku memikirkan apa yang tadi Jana dan Dimi bicarakan. Pikiranku gusar. Selama ini, aku tidak pernah melihat Dimi berbicara kepada Jana. Namun kali ini, semuanya berbeda. Dimi rela mendatangi rumah Jana. Apa Jana dan Dimi sekarang sudah pacaran?

Aku menghela nafas frustasi. Entah apa yang aku rasakan, aku gundah. Aku tau, ini akan terlihat sangat girly. Galau hanya karena orang yang disayanginya sedang bicara berdua dengan orang lain. Namun, itulah kenyataannya. Aku mengakuinya, karena aku tidak mau dibilang munafik.

Aku tidak tau, apa ini yang dinamakan cemburu? Menahan rasa sakit dalam diam dan tidak ingin berbagi rasa kepada siapapun. Memilih untuk membisikkan kepada angin tentang hal yang tidak mungkin dia mengerti.

Ya, aku cemburu.

Aku memutuskan untuk mengunjungi rumah Jana mengingat jarak rumahnya hanya beberapa langkah dari rumahku.

Revered Back - It's Too LateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang