Pendulum Waktu

6.8K 610 193
                                    

Waktu seakan berhenti berputar.

Keheningan mulai memekakkan telinga yang tak bisa kupungkiri bahwa aku menyukainya. Aku menatap lurus objek di depanku, seorang teman lama. Ya, teman lama dengan kacamata frame hitam, rambut tebalnya, kulit sawo matangnya, dan iris mata cokelat yang entah mengapa selalu menjadi bagian favoritku. Aku terpaksa menghentikan kegiatanku ketika ia berdeham pelan memecah kesunyian yang sudah berlangsung cukup lama. Dia balik menatapku, mengunci mataku dengan mata cokelatnya yang berkilauan.

Aku mendesah frustasi dan melempar pandanganku keluar jendela kafe. Setelah sekian lama tetap saja aku belum terbiasa dengan tatapan itu. Tatapan yang selalu membuatku merasa kehilangan seluruh kecerdasanku.

Aku menyerah. Tidak tahan dengan sikap diamnya yang sering kambuh tanpa diminta. Aku memejamkan mataku, dan mulai mengumpulkan sisa-sisa kepercayaan diriku yang setiap bertemu dengannya akan raib seketika.

"Tirta," aku kembali menatap dirinya yang sedang memainkan sedotan lemonade-nya. Dia menoleh dan membalas tatapanku.

Aku menghela napas pelan. "Apa yang membuat seorang Tirta mengirimiku pesan dan memintaku untuk bertemu di sini, saat ini?"

"Aku akan menikah, Sha."

Tubuhku menegang.

Menikah? Aku merasa seluruh organ tubuhku bergetar. Aku menggigit pipi bagian dalamku untuk mencegah isakanku, sampai aku merasakan sedikit asin dan rasa besi bercampur di mulutku. Aku menelan ludah untuk menyetabilkan perasaanku.

"Shafira, apa kau mendengarkanku?" Ia melambaikan tangannya di depan wajahku.

Aku berharap aku tak pernah mendengarkanmu.

Aku mengangguk pelan, berusaha sekeras mungkin untuk menutupi kegetiranku.

"Jadi, siapa wanita itu?" Mencoba untuk merasa tertarik atas pembicaraannya.

Dia terkekeh pelan. Dan lihatlah, Ya Tuhan. Guratan halus di sudut matanya membuat jantungku berdetak tak beraturan. Aku membuang napas keras.

"Berhenti tertawa, dan jelaskan padaku." Aku melempar sedotanku ke arahnya, dan menyadari bahwa aku mulai menguasai perasaanku. Aku tersenyum samar.

"Dia gadis yang kutemui di acara kantor beberapa bulan yang lalu." Dia mengaduk minumannya lagi.

Aku mengerutkan dahiku. "Kau menikahi gadis yang baru kau kenal?"

Dia mengangguk. "Aku merasa cocok, dan dia gadis yang baik. Perkenalan bisa dilanjutkan setelah menikahkan?" Menatapku, meminta persetujuan.

Aku merasa dunia di sekelilingku berputar.

Dia jatuh cinta dengan gadis yang baru dikenalnya. Jadi dia menanggapku siapa? Tidak pernahkah sekalipun ia jatuh cinta padaku? 10 tahun menjadi temannya, 10 tahun juga aku sendiri yang menanggung semua perasaan ini? 

Aku menerawang jauh, bagaimana dengan sajak-sajak yang ia tulis untukku?

Semua itu terasa amat... nyata.

Semua perlakuannya padaku? Terkadang aku merasa dia lebih memahamiku dibandingkan diriku sendiri. Dia selalu tahu kebiasaan buruk yang kujalani jika kesibukan melandaku, kopi dan jadwal makanku yang tak teratur. Dia selalu tahu. Dia selalu tahu waktu-waktu yang membuatku akan bersikap mengerikan, dan dia tahu cara menenangkanku. Dia selalu tepat memperkirakan shift malamku, dan dia dengan senang hati mengingatkanku untuk menjaga pola istirahatku. Setiap kali bersamanya kadang aku merasa bahwa dialah yang berprofesi sebagai dokter, dokter untukku, untuk diriku sendiri.

Semua itu, apakah dia tak pernah jatuh cinta padaku?

Aku tertawa hambar, sepertinya tidak pernah.

"Sha, kau melamun lagi." Dia tampak cemas.

Aku menggeleng, "kapan? Kapan pernikahannya?" Suaraku serak dan menyedihkan.

Aku kembali menggigit pipi bagian dalamku yang sekarang rasanya sangat pedih.

"Dua minggu dari sekarang. Tapi aku merasa gugup sekali, Sha. Terakhir aku gugup adalah ketika interview pekerjaanku, dan ini rasanya tidak nyaman." Dia menggeser gelas minumnya, dan mengetuk-ngetuk meja dengan pelan.

Mataku terasa panas.

Oh, jangan. Aku tak ingin sekalipun menangis dihadapannya.

"Apakah aku harus mengucapkan selamat kepadamu?" Aku mencoba bergurau, sayangnya terdengar seperti pernyataan pilu.

Dia mengernyitkan dahinya. "Tentu saja, Sha. Kau yang selalu mengejekku jomblo abadi. Lihatlah, aku yang akan menikah duluan." Dia tertawa, dan hanya mendengar tawanya saja bibirku semakin bergetar.

Aku mendongakkan wajahku. "Kalau begitu, selamat. Akhirnya Tirta yang kuvonis jomblo seumur hidup ternyata menemukan jodohnya." Aku tertawa, bukan karena leluconku, tapi karena aku mematahkan hatiku sendiri.

Dia tertawa dan mencomot kentang goreng di meja, "kau harus datang. Kau tamu khusus."

Datang di hari pernikahannya?

Itu sama seperti aku membunuh diriku sendiri.

Aku mengangguk pelan. "Akan kuusahakan." Aku merutuki diriku atas jawaban yang tidak sesuai dengan pikiranku.

Dia tersenyum. " Kau tahu, hanya dengan melihatmu saja, aku merasa seluruh kegugupanku menghilang."

Aku menunduk dan memainkan jariku.

"Kau harus menjaga pola makanmu, Sha. Kumohon"

Aku terenyuh dan menelan dengan keras isakan yang ada di tenggorokanku. "Akan kucoba".

"Istirahatkan tubuhmu"

Aku mengangguk.

"Jangan lupa kabari aku jika kau sudah menemukan a guy who wears glasses mu nanti, oke?" Dia tertawa jahil.

Aku tersenyum kecut.

Dia menatap mataku lagi. " Aku akan sangat merindukanmu."

Tangisku sudah di ujung lidah.

"Terimakasih atas waktumu, Sha. Aku benar-benar berharap kau akan datang. Sampai jumpa, Sha." Dia berdiri dan memberikan senyum sejuta watt-nya padaku.

"Good bye, Ta" aku menatapnya nanar.

Tepat ketika lonceng pintu kafe berbunyi yang menandakan ia sudah pergi, pertahananku runtuh. Seluruh tangis dan isakan yang kutahan sejak tadi tumpah ruah. Aku menangkupkan kepalaku di meja. Membekap mulutku berharap bisa meredam suaraku. Menyesal atas keputusanku untuk datang padanya hari ini.

Sepuluh tahun aku membangun perasaanku, dan hanya dalam waktu satu jam semuanya hancur. Meninggalkanku sendirian. Aku mengusap wajahku. Menatap kursi kosong di depanku.

Aku akan lebih merindukanmu.

An HourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang