"Kurung di dalam pondok, dan ikat dia."
Luna tersentak. Matanya membulat kaget. Apa yang akan mereka lakukan padanya?
"A-ap-"
"Ayo!" Suara berat yang mengerikan memotong perkataan Luna. Luna menatap pria di hadapannya dengan pandangan ngeri.
Seorang pria bertubuh besar, berambut pirang yang begitu kontras dengan kulit hitamnya itu mendorong tubuh Luna ke depan. Luna meringis saat berjalan karena sebelumnya ia telah didorong lelaki yang Luna ketahui namanya Fhreii. Celana jeans biru Luna ternoda oleh bercak darah di bagian lututnya. Luna berjalan dengan agak pincang. Ia kesulitan berjalan, apalagi kini, tubuhnya yang sama sekali tidak ada bandingannya dengan pria besar itu terus didorong.
"Hei, kalian semua!"
Seruan seseorang menghentikan pria bertubuh besar yang mendorong Luna. Kepala Luna refleks menoleh ke arah suara dan menemukan tiga orang lelaki yang dua menaiki kuda dan yang satu berjalan kaki.
"Fhreii, apa yang kau laku-astaga!" Lelaki bertubuh paling kecil di antara mereka dan berambut hijau daun itu memekik kaget. Ia menatap Luna dari atas sampai bawah, keterkejutan sekaligus keantusiasan begitu kentara terlihat di matanya.
"Jangan bilang padaku kalau dia adalah...."
"Penyihir." Perempuan berambut brunette yang sedari tadi hanya diam akhirnya membuka suara. Ia terdengar ogah-ogahan saat menjawab pertanyaan atau bisa dibilang pernyataan dari lelaki bertubuh kecil tadi, ia pun mendelik ke arah Luna.
"Fhreii, bagaimana bisa kau menemukannya?" Seorang pria tampan berambut merah yang berada di atas kudanya itu bertanya, mata merahnya yang tajam itu menatap Luna dari atas hingga bawah, persis seperti apa yang dilakukan pria berambut hijau dan berbadan kecil tadi. Lalu pria berambut merah itu terpaku melihat luka di lutut Luna. Sedangkan Fhreii yang masih asyik dengan sarapannya hanya melirik sekilas.
"Ceritanya panjang. Nanti saja kuceritakan, intinya aku lapar." Satu gigitan besar pun menyambar daging glyth panggang itu. Fhreii tidak memedulikan berbagai ekspresi para sahabatnya yang menatapnya. Ia asyik dengan daging lezat digenggamannya.
Conrad langsung mendorong tubuh Luna ke arah pondok. Lind hanya berdiri sembari sedekap, mata coklatnya mengekori pergerakan Luna. Sementara Jarvis dan Rava memerhatikan Luna yang sudah dipaksa masuk pondok lalu dikunci dari luar oleh Conrad, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
"HEI, CONRAD! BIARKAN AKU BERTEMU DENGANNYA!" pekik Neimn kala pintu pondok sudah dikunci oleh sahabatnya itu. Neimn menghambur ke arah Conrad lalu berusaha merebut kunci yang ada digenggaman Conrad. "Berikan!"
DOR DOR DOR
"BUKA!" Suara Luna yang agak teredam terdengar dari luar pondok, ia menggedor pintu pondok dengan cukup keras.
Conrad menendang pintu itu lalu menyahut dengan suara lantang. "Diamlah! Atau bersiap untuk merasakan dinginnya pedangku di dadamu!"
Dengan begitu, suara gedoran pintu itu terhenti. Conrad mendengus geli lalu beralih menatap Neimn lagi.
Neimn berusaha meraih kunci yang diangkat tinggi-tinggi oleh Conrad. Apalah daya dirinya, tingginya hanya sebatas dada pria berkulit hitam itu. Conrad mendengus geli, ia menggeleng-gelengkan kepalanya lalu berkata ketus.
"Coba saja kalau bisa, si Mungil Nimi." Lalu seulas senyum mengejek terbit dari bibirnya.
"Hei! Jangan berani-beraninya kau menyebutku dengan panggilan terkutuk itu, Con! Atau aku akan menyumpal mulutmu itu dengan kotoran svar!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aeritys
Fantasi[•] "Dunia kita berbeda," Fhreii memberi jeda, menarik napas lebih dalam dan berusaha menahan rasa sesak di dadanya, "kita tidak pernah ditakdirkan untuk bersama. Di Athyra, maupun di duniamu. Aku takkan pernah bisa melawan para Dewa. Maka dari itu...