Lost of Love

112 16 3
                                    

"Manusia macam apa yang membiarkan hati ikut campur dalam sebuah persahabatan?" - Andin

Tadi siang, gue menolak ajakan Ge and the geng buat nyebur ke Ranu Kumbolo dan memilih untuk tidur di tenda. Yang bikin gue nggak mood adalah; Ranu Kumbolo yang di film 5 cm. begitu cantik dan memanjakan mata, berubah jadi penuh sampah di beberapa sisinya.

Begitu gue bangun, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Gue keluar dari tenda setelah bersihin iler dan belek berserakan. Ge udah nongkrongin sandal gue yang bertengger manis di luar tenda.

"Udah bangun, Tuan Putri?"

"Nggak worth it banget perjalanan kita ke sini, Ge," gue mengeluh. Ge melihat gue dengan tatapan kok-gitu-sih? dan langsung gue balas sebelum dia tanya. "Rakumnya jelek, banyak sampah." Tiba-tiba Ge menarik tangan gue dan menyeret gue entah ke mana.

Ge menuntun gue yang berjalan di belakangnya melewati jalan setapak sempit yang cuma bisa dilewati satu orang. Semenit kemudian kami tiba di tanah lapang yang nggak begitu luas. Ge masih menggandeng tangan gue. Nggak bisa dipungkiri, tangannya yang hangat bikin hati gue deg-degan.

"Kalau lo nggak bisa menikmati Ranu Kumbolo di siang hari, lo bisa menikmatinya di malam hari." Ge mendongakkan kepala, gue mengikuti arah pandangnya. Apa yang gue lihat bikin gue tercengang saking takjubnya.

Langit di atas seperti kanvas hitam yang dilukis dengan sebaris warna ungu, sebaris warna violet, disembur merah muda, lalu dipoles jingga keemasan. Dan Tuhan, sebagai pelukis yang Maha Hebat menaburinya dengan milyaran bintang-bintang, sedikit di sana, sedikit di sini, porsi yang sempurna.

"Milkyway..."

Ge mengiyakan dengan suara beratnya.
Sudut mata gue menangkap seberkas cahaya yang membelah langit dari ujung ke ujung. Bintang jatuh kah? Gue pengin tanya ke Ge, tapi dia kelihatannya masih serius menikmati pemandangan. Jadi gue menggenggam tangannya lebih erat, memejamkan mata dan berdoa dalam hati.

"Tuhan, jangan biarkan dia pergi."

Mata Rara membelalak seakan mau lompat dari sarangnya, sebagai bonus, cewek itu juga nyemburin susu cokelat dingin yang tadi gue suguhin. "Biasa aja woy!"

Rara meletakkan gelas susunya di meja samping tempat tidur gue. "Gimana gue bisa biasa aja?! Lo suka sama Ge? Ge itu adiknya Re. Re mantan lo!"

Gue buru-buru menyela sebelum Rara mengoceh makin panjang. "Iya, iya, nggak usah dijelasin panjang lebar gue juga udah tahu!" Semua yang dikatakannya emang sebuah kenyataan, dan kenyataan kalau Ge adalah adik mantan pacar gue saja sudah cukup bikin hati nyeri.

Rara bersiap untuk mengoceh lagi tapi gue buru-buru menyela untuk kedua kali. "This feeling trapped me, Rara."

Rara mendesah. Lalu menatap gue dalam-dalam. "So, you love him?"

Gue mengangguk tanpa memerlukan waktu untuk berpikir. Begitu yakinnya gue akan perasaan ini, sampai ketika Rara menanyakannya sekali lagi, gue kembali mengangguk penuh yakin.

Rara beralih duduk tepat di hadapan gue, kedua tangannya menggenggam tangan gue. Gue paham betul gestur ini, gestur yang biasa dia tunjukkan ketika meladeni curhatan menye-menye gue. Sebentar lagi, dia pasti mengeluarkan kata-kata mutiara yang menghujam hati.

"Cinta memang datangnya tanpa permisi, tapi kalau lo nggak mempersilakan dia masuk, dia nggak bakal menghuni hati."

Airmata gue tumpah di akhir kalimat Rara. Sebuah tamparan telak untuk gue yang sudah membiarkan hati ikut campur dalam persahabatan. Gue pantas dapat ini semua. Rara merengkuh gue dalam pelukannya, menenangkan gue, dan mengakhiri sesi curhat ini dengan sebuah kalimat. "If you really love him, better you tell him."

Faye-rytalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang