Thirty Two*

250K 15.4K 1.8K
                                    

Kekuatan dan keyakinan untuk bertahan itu lebih cepat sirna dari pada keyakinan untuk meninggalkan. Semuanya di dasari oleh seberapa rasa sakit yang tercipta.

□□□

Author POV

"Gue yakin kalau Ashley tadi senyum" lirih Eva.

Eva sudah frustasi, berapa kali dia meyakinkan semua orang disini. Tetap saja tidak ada yang mempercayainya. Padahal Eva benar-benar melihat dengan jelas, senyum yang terukir di wajah Ashley.

Eva menutup wajahnya dengan kedua tangan, "Kak, lo percaya dengan guekan?"

Adlan hanya diam. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan Eva. Hati kecilnya ingin mempercayai tapi dia tidak ingin berharap. Berharap sesuatu yang tidak pasti.

Eva meneliti wajah Adlan yang sama sekali tidak merespon, "Thomas, lo juga gak percaya dengan gue?"

Thomas mengusap wajahnya dengan kasar, "Gue mau percaya sama lo, tapi gue gak mau berharap kalau keputusannya gak akan berubah"

Satu kenyataan pahit kembali menghantam ingatan mereka. Hari ke-31 semua alat yang menunjang hidup Ashley akan dilepaskan. Semua alat bantu tanpa sisa dan mereka harus merelakan. Merelakan seseorang yang mereka sayang.

Terkadang merelakan lebih baik dari pada melihat orang yang kita sayang menderita terus menerus. Kata-kata ini sekarang berlaku bagi mereka.

□□□

Hari ke-26

"Kami takut jika kelamaan memasang alat bantu itu begitu saja yang mungkin lama-kelamaan akan merusak kinerja jantung pasien dan berujung pada kematian." Jelas dokter.

Andrew, papanya Ashley menatap istrinya yang sudah siap untuk ini, "Kami sudah memutuskannya dok, pilih langkah yang terbaik untuk Ashley"

"Ashley sudah pernah koma satu tahun dan pada saat itu pastinya Ashley selalu memakai alat bantu, hal ini yang membuat kami susah memutuskan." Ucap dokter.

Mama Ashley tersenyum tipis, "Kami tahu, kami mengerti maka dari itu kami mohon buatlah keputusan yang benar. Kalau keputusan melepaskan semua alat itu terbaik, lakukanlah"

Andrew merangkul Alana, dia menepuk bahu Alana pelan "Kami tidak ingin membuat Ashley terus merasa sakit"

Dokter itu tersenyum sendu, "Saya yakin Ashley akan bangun sebelum semuanya di lepaskan"

Dokter melihat wajah kedua orang tua pasiennya. Pasien yang sudah dia rawat sejak lahir sayangnya dia harus berhenti saat itu dan menyambung mengobati pasiennya saat dia koma. Pasien yang selalu semangat dan ceria padahal dia datang ke rumah sakit untuk berobat.

Tidak pernah ada air mata yang keluar saat pasiennya merasa sakit. Semuanya dia tanggapi dengan ceria tanpa putus asa. Pasiennya yang masih kecil tetapi sudah mempunyai pikiran yang dewasa.

Dia ingat, Ashley pernah berkata

membuat pikiran kita menjadi dewasa itu perlu dok, kalau kita berpikir seperti anak kecil terus menerus pastinya kita akan mengeluh. Apalagi mengingat keadaan Ashley yang rapuh, walaupun rapuh kita harus tetap ceria, semangat, pantang menyerah dan segalanya deh. Dan semua itu membutuhkan pikiran yang dewasa, terkadang pikiran anak kecil hanya bisa berpikir sedih, bermain dan mengeluh. Kalau kita rapuh, gimana orang lain yang ngelihat kita?

"Ashley adalah pasien pertama saya yang sangat ceria, saya tidak tahu bagaimana dia bisa bertahan tanpa menangis di saat dia merasakan sakit. Jadi kita harus yakin kalau Ashley pasti bangun" yakin dokter dengan senyumnya.

King Bullying VS Queen RescueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang