Part 1

441 13 2
                                    

"Terima kasih," Lilia memandang Ben sekilas lalu buru-buru membuang pandangannya ke lantai. Ben menahan daun pintu yang dibukakan Lilia untuknya. Matanya menatap dalam mata Lilia, wanita lembut yang lima bulan terakhir ini merebut hatinya.

"Aku pulang dulu. Sampai ketemu minggu depan. Jaga baik-baik dirimu," tatapan Ben lebih seperti melindungi. Membuat hati Lilia menghangat. Lilia yang sangat rapuh merasa sangat dihargai, dilindungi, disayangi.

"Aku juga akan menjaga bayi ini," tak terasa senyum Lilia mengembang hangat di sudut bibirnya namun tak lama segera menghilang demi melihat mata Ben yang gelisah. Membuat perih hati Lilia.

Ben membuka pintu mobilnya lalu menyentaknya kembali dari dalam. Ada rasa malas dan jenuh memenuhi hati Ben. Ben enggan pulang ke Jakarta. Bukan karena enggan pada rumahnya. Bukan juga karena orang-orang terkasih yang menghuni rumah mungilnya. Tapi, enggan dengan masalah-masalahnya. Masalah-masalah rumit yang tak bisa ia urai dari tangannya. Masalah yang tak bisa ia bagi dengan siapa pun. Masalah yang ia mulai sendiri dan mau tak mau harus ia selesaikan sendiri. Yang jelas, kini Ben merasa dirinya sangat hina. Hina sekali.

Ben melempar pandangannya ke sekeliling. Kota kecil di sudut Semarang ini memang sangat memukau. Ungaran. Kota kecil yang sejuk dan asri namun tak asing dengan modernitas. Itu yang ada di kepala Ben tentang kota kecil tempat Lilia tinggal.

Ben menggelengkan kepalanya ringan. Berusaha mengusir bayangan Lilia dari tempurung otaknya. Tangannya meraih air mineral lalu meneguknya. Ben tak mau Lilia berada di otaknya jika ia kembali ke Jakarta. Ben tak mau salah memanggil Denada dengan nama Lilia seperti 2 minggu lalu. Ben merasa sangat menyesal dan bersalah meskipun Denada tak pernah marah jika Ben melakukan hal itu. Denada tak marah karena Lilia sahabatnya sejak kecil. Dan yang jelas, Denada tak pernah tahu mengapa Ben berulang kali keceplosan seperti itu.

Bayangan tentang malam itu menyelinap lagi di sela-sela kesibukan Ben mengendalikan setir di kelak-kelok jalan Ungaran. Malam yang hangat untuk ia dan Lilia.

"Aku mencintaimu, Lilia," Ben mengecup puncak kening Lilia setelah berulang kali menciumi bibir Lilia. Tubuh Lilia mengejang beberapa saat. Tangan mungilnya mencengkeram erat tangan Ben. Ben memeluk erat tubuh Lilia yang bergetar dalam dekapannya. Desahan dan rintihan Lilia membuat Ben tak mau buru-buru melepas adik kecilnya yang masih tenggelam di dalam tubuh Lilia. Merasakan himpitan hangat yang mencengkeram erat miliknya.

"Aah..." Ben tak kuat menahan lenguhannya.

"Maukah Kau tetap tinggal untukku, Ben?" Lilia berbisik di sela desah kenikmatannya. Napasnya masih memburu memenuhi dadanya yang sesak. Sesak oleh kebahagiaan dan kehangatan yang Ben berikan. Ben mencium kening Lilia tanpa menjawab.

"Terima kasih, Ben," Lilia mengencangkan pelukannya di leher Ben. Menganggap ciuman Ben adalah jawabannya. Lilia tak tahu bahwa Ben menciumnya karena Ben tak tahu harus menjawab apa.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 14, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Do Its for MeWhere stories live. Discover now