****
"Kal, gue nginep ya?"
"Gak."
"Malam ini aja beneran deh, besok gue traktir di GC gimana?"
Kara menarik-narik lengan baju yang dikenakan oleh Kalvin, membuat cowok itu lantas kehilangan fokus dalam membaca. Kalvin sudah sering menghadapi sikap sahabatnya yang kekanakan, Kara selalu menjadikan rumahnya sebagai tempat pelarian jika memiliki masalah dengan keluarganya.
Bicara soal GC, itu adalah singkatan dari suatu tempat yang sering mereka kunjungi saat pulang sekolah maupun hari libur, Green Caffe. Biasanya mereka berdua akan menghabiskan waktu disana, entah untuk mengerjakan tugas sekolah atau sekedar duduk dan memesan Carramel Macchiato serta Hot Cappucino dengan sedikit gula.
"Engga, Kar." Matanya menyipit, Kalvin menatap Kara tajam sebelum pandangannya teralih pada buku tebal yang sedang dibacanya.
"Kal ayolah, gue-"
"Athana Karallea, gue gak ngizinin lo nginep disini. Gue serius," Ucap Kalvin tegas, selera membacanya mendadak hilang menghadapi sikap Kara yang keras kepala.
Kalvin memang tidak pernah membiarkan Kara menginap di rumahnya, sedekat apapun mereka tetap saja Kalvin merasa was-was. Menurut pandangannya, tidak pantas seorang wanita menginap satu rumah dengan laki-laki, selain saudara kandung. Lagi pula sudah seharusnya Kara bersikap dewasa dan menyelesaikan masalahnya, bukan menjadikan rumah Kalvin sebagai tempat pelarian.
Kara mendesis, "Nyebelin."
Ia menjatuhkan pantatnya di atas sofa, bibirnya mengerucut menatap Kalvin yang kembali sibuk dengan dunia sendiri. Kara bahkan heran mengapa cowok ini rela menghabiskan waktunya hanya untuk duduk, dan membaca buku perfilman yang tebalnya sampai ratusan.
Kalvin sangat addicted dengan film, ia berita-cita menjadi seorang produser selepas lulus sekolah. Cowok itu akan mengambil jurusan perfilman, semua tujuan dan ambisi hidupnya telah dirancang dengan sebaik mungkin.
Sementara Kara, ia sama sekali tidak tau apa pilihan hidupnya ke depan. Mungkin ia akan mengikuti langkah Kalvin untuk mengambil jurusan perfilman, ya meskipun ia sama sekali tidak memiliki basic di bidang itu. Tapi yang Kara sadari, selama bersama Kalvin semuanya terasa cukup.
"Kal..."
"Hmm?"
"Kalvin,"
Kalvin memutar bola matanya dengan malas. "Apaan, sih?"
"Gue mau balik ah, lo gak asik." Wajah Kara berubah menjadi jengkel, dia sangat tidak suka jika perhatian Kalvin terpusat pada buku itu. Kara meraih tasnya di atas meja, hendak pergi dari sana sebelum sebuah tangan menahan pergelangannya.
"Gue anter lo balik," Kalvin menutup buku yang dibacanya, meletakkan buku itu di atas meja. Kalvin sangat paham jika sudah seperti ini, Kara pasti ngambek padanya. Dan percaya atau tidak, ngambeknya seorang Kara dapat membuat Kalvin tidak bisa tidur seharian.
Kara menatapnya sinis. "Gausah, gue bisa naik taksi."
"Kara," Kalvin menghembuskan napas kasar, ia melihat kedua mata Kara yang mulai berkaca-kaca. "Gue anterin, okay?"
Kara memalingkan wajahnya, ia hanya diam ketika tangan Kalvin menarik pergelangan tangannya keluar rumah. Kara tidak peduli jika orang-orang menganggapnya cengeng, ia sama sekali tidak suka diabaikan. Seharusnya Kara sudah memahami sikap Kalvin yang terkesan cuek, semestinya Kara tidak pergi ke rumah cowok itu dalam keadaan sedih. Kara bukan menjadikan rumah Kalvin sebagai tempat pelarian, karena sejujurnya tidak ada orang yang dapat Kara percaya selain Kalvin. Kalvin adalah pusat dari dunianya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[OS]: Tomorrow
Short Storykarena saat kamu tidak ada, hari esok tidak pernah lagi terasa mudah. Jakarta, April 2016.