Hanifah Miftakhatus Sa'diyah
Aku bangun di sepertiga malam yang sangat gelap entah kenapa mataku begitu berat untuk terbangun malam ini, kulihat sampingku berharap menemukan sesosok lali - laki yang akan memberiku semangat untuk sholat di sepertiga malam, kutolehkan samping kanan kiriku aku tak menemukan siapapun disana, aku berjalan ke kamar mandi mungkin suamiku tercinta sedang wudu di sana, tetapi tak kutemuinya. Aku terus mencarinya kesetiap sudut rumah namun tak kutemui dirinya.
Aku duduk di ruang tamu masih berharap dia megerjaiku seperti biasanya dan saat dia menampakan dirinya maka dia akan membuat kejutan untukku. Aku masih saja tersenyum dan membayangkan yang indah - indah di kepalaku.
Satu jam berlalu nihil dia tak menampakan dirinya, aku bergegas naik kembali ke kamar untuk sholat dan masih berharap dia sudah ada di sana, namun dia juga tak ada di sana. Aku sholat malam dengan terbayang - bayang wajanya, setelah sholat subuh aku kembali turun kebawah untuk mencari dimana sumiku berada. Aku tak menemukanya lagi, lelah aku mencarinya ahirnya aku memutuskan untuk menyiapkan sarapan, aku terbiasa menyiapkan sarapan untuk suamiku itu dan dia tidak akan penah melewatkanya, mungkin karena dia telah berjanji padaku.
Semua makanan sudah tertata rapi di maja makan, aku yakin tak lama lagi dia akan menampakan dirinya, namun sampai ibu mertuaku turun kebawah dia tak muncul, aku merasa aku begitu kesal, tak biasanya dia melakukan ini kepadaku. Pergi tanpa pamit terlebih dahulu.
"Han, kok sarapanya nggak di makan ? keburu dingin loh sayang."
Kulihat wajah ibu mertuaku yang kucel, matanya sembab seakan dia habis menangis, aku tak ingin berpikir negatif. Mungkin dia tak bisa tidur semalam, kalau ada masalah pasti dia akan bercerita dan aku siap mendengarkanya dengan senang hati.
"Iya Mah, sebentar aku lagi nunggu mas Arkan. Aku bingung mah, mamah tau nggak mas Arkan kemana ? aku cari tadi pagi nggak ada itu mah."
Mamah Wiratama
Ya Allah bagaiman aku menjawabnya, aku tak bisa melihat wajah manis itu menetesakan air mata. Seminggu setelah kejadian itu, Hanifah masih saja belum sadar. Dia masih saja menganggap Arkan masih hidup. Ya Allah apa yang harus aku katakan.
"Mah ? kok mamah bengong sih, ada apa mah ?"
Aku melihatnya dengan tatapan nelangsa, aku tak bisa menutupi kesedihanku, bahkan semua air mata ini menetes kembali. Aku juga tak bisa berbohong denganya, membuatnya terjebak dalam hayalanya.
"Mamah nangis ? kenapa mah ada apa ?"
Aku beranjak mnedekatinya, yang duduk di kursi makan. Kupeluk tubuhnya yang tertutup jilbab berwarna kuning itu.
"Sayang, kamu harus sabar ya. Arkan sudah tidak ada. Allah sudah mengambil Arkan kamu harus ikhlas ya."
Dia melepaskan pelukanku tanpa berkata sepatak kata apa pun, wajahnya terlihat begitu kuat ditaiknya bibir tanpa make up itu hingga senyumnya mengembang sangat manis.
"Ayo mah sarapan bareng Hani. Kata mama kan keburu dingin."
Ya Allah betapa kuat gadis itu, aku sangat tau dia merasa sakit. Namun dia tak ingin orang lain menghawatirkan dirinya, wajah palsu namun terlihat asli itu begitu menyayat hati saya.
***
Ketemu lagi dengan cerita yang baru semoga nggak bosen ya, jangan lupa vote dan tinggalkan komen terimakasih 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Seorang Wanita
SpiritualAku masih berharap dia berdiri di sampingku untuk menjadi tumpuan. Namun Allah berkata lain, dia adalah miliknya dan sudah sepantasnya kembali pada -Nya. Aku terima semuanya dengan senyum yang menempel di bibirku, namun kenapa harus menikah lagi...