"Aku kerap berbohong demi menghibur diri sendiri."
***
Mata itu kian mengecil, dengan kilatan tatapan marah yang seakan siap membakar apapun yang menaikkan emosinya. Telapak tangannya sudah kemerahan karena bekas kuku dari kepalan tangannya yang erat. Ia tidak pernah lupa dengan wajah orang yang tergambar jelas dipenglihatannya.
"KAU!" teriak Shania.
Orang berambut cepak dengan senyum licik itu kemudian tertawa lepas pada Shania.
"Kau rupanya!" Shania menuruni tangga, menuju ke tempat orang itu berdiri.
"Nona Shania, jangan dekati dia! Anda bisa masuk dalam bahaya!" cegah Mbak Surti, ia berusaha berdiri, namun sepertinya ada masalah pada alat geraknya. Menyebabkan ia terpaksa membatalkan niatnya untuk bangkit.
Shania tidak menggubris peringatan Mbak Surti, dan meronta ketika Bi Inah menangkap tangannya dan berbisik,
"Nona, dia berbahaya, mungkin dia akan melakukan sesuatu yang tidak baik pada anda. Biar kita menunggu Tuan Farish dan polisi yang beliau panggil, saya sudah meneleponnya diam-diam tadi." Bi Inah berkata dengan agak gemetaran.
Shania tetap berjalan menuju laki-laki itu.
"Hei, rasanya aku pernah melihatmu, manis..."
"Diam kau, Nobi Andino!" Shania kini telah berada tepat di depan orang itu.
"Hooo... Jadi kau juga tahu namaku... Ah, kau pasti gadis kecil di sebelas tahun yang lalu, kan?"
"Aku merasa senang kau masih mengingatku. Kupikir kau sudah melupakan orang-orang yang kau sakiti..."
Orang itu, yang tidak lain adalah Nobi, tertawa lebar untuk kedua kalinya.
"Kau kemanakan Boby-ku? Kembalikan dia padaku!"
"Boby manismu itu? Wah, aku rasa, dia sudah tertidur panjang dengan tenang tanpa sempat mengucapkan salam perpisahan padamu..."
"Apa?! Bohong!"
"Berbohong katamu? Aku lebih suka mengatakan yang sejujurnya... Tidak enak berbohong..."
"Tidak mungkin..." Shania menggelengkan kepalanya, masih dengan tatapan marah yang tak pernah lepas dari Nobi.
"Ahahaha... Mungkin, malam ini juga kau akan menyusulnya!" Nobi mengacungkan lagi pisau ditangan kanannya pada Shania.
Shania tidak sedikitpun mencerminkan ketakutan dalam tatapannya. Tangannya dengan cekatan mengibaskan tangan Nobi yang terarah padanya, hingga pisau itu terlempar jauh dari mereka berdua.
"Sampai berapa kali kau ingin menghancurkan hidupku? Tiga? Empat? Atau lebih? Apa yang membuatmu puas selain menjadi pengacau dalam kehidupanku?"
"Hei... Kenapa jadi emosi begitu? Bukankah aku tadi ingin mempertemukanmu kembali dengan Boby milikmu itu?"
"Boby belum mati!" Shania meninggikan intonasi bicaranya. Sekarang ia benar-benar marah.
"Pertama, kau bunuh orang tuaku hanya karena mereka tidak menuruti kata-katamu, di depan mataku. Tanpa ampun! Dan kedua, kau ambil semua apa yang kumiliki. Lalu, kau bunuh orang tua Boby, menculiknya lagi dan berusaha membunuh Boby! Apa yang ada di otakmu sebenarnya?!"
"Ternyata ingatanmu masih segar untuk kejadian puluhan tahun lalu, ya... Yah... Tujuanku cuma satu, menyingkirkan orang-orang tak berguna yang menghalangi keinginanku... Orang tua bodohmu itu tidak mau kusuruh untuk menghabisi pemimpin perusahaan mereka, orang tua tunanganmu itu, mereka cuma mengganggu saja... Dan pasangan Orang tua (Boby) itu tidak mau memberi posisi untukku di perusahaan besar itu. Dan sekarang, calon suamimu itu juga menghalangiku. Apa boleh buat, kubunuh saja mereka." Nobi berkata dengan santainya. Seolah tak ada beban yang memberatkan intonasinya saat itu.