(Me)nantinya

58 8 6
                                    

Dalam remang nan temaram, sesosok gadis kecil melangkah dengan kaki terseret menyusuri setapak yang hampir tertutup rumput sepenuhnya. Wangi tanah basah, juga aroma khas pepohonan mulai menyusup indera penciumannya. Gigil akan rerintik hujan yang sedari tadi bercumbu dengan tubuhnya, tak jua ia hiraukan. Nafasnya memburu di antara riuh rendah gemericik ornamen langit yang meluncur bebas ke bumi yang fana. Tatapannya seakan menyiratkan luka. Luka yang terus tercabik menganga di hatinya.

Seolah mengerti tentang perasaan gadis kecil ini, langit sore itu tak nampak biru bersemu jingga seperti biasanya. Hanya ada kelabu yang tersaput awan gelap dan berujung pada hujan. Langkahnya yang tersaruk, mulai mendekat pada ayunan tua yang selalu ia kunjungi setiap kali dirinya merasa sedih. Berjarak 50 meter dari bangunan sederhana bercat biru pudar-tempatnya bernaung selama ini.

Derit ayunan tua mulai terdengar memekakkan telinga. Berpadu dengan suara jangkrik, katak, dan kecipak air yang mencipta harmoni alam memesona. Dan gadis kecil berusia 11 tahun itu, memeluk erat boneka beruang miliknya yang juga ikut basah kuyup. Kaki-kaki kecilnya sesekali mendorong di tanah, menjaga agar ayunannya tetap berayun perlahan. Dalam benaknya mulai dipenuhi dengan berbagai pertanyaan, yang menuntut akan jawaban. Namun hingga detik ini, belum juga ia temukan.

Sementara itu, di dalam bangunan sederhana bercat biru pudar yang mulai mengelupas, salah satu ruangannya tampak ramai. Anak-anak Panti Asuhan Mutiara yang hari itu mendapat kunjungan dari sekelompok aktivis sosial yang terdiri dari 4 mahasiswa, terlihat antusias menerima mainan-mainan baru dan aneka camilan. Senyum dan tawa dari wajah-wajah polos mereka, menggurat kebahagiaan tersendiri pada keempat pemuda ini. Mereka mulai bernyanyi, membacakan cerita ataupun dongeng, dan mengajarkan banyak hal pada anak-anak itu.

Tetapi di tengah-tengah semua hal tersebut, salah satu dari keempat pemuda itu menyingkir dan memilih berdiri di sudut ruangan. Mengedarkan pandang ke segala penjuru ruangan dan mulai mencari sosok gadis kecil yang selalu terlihat memeluk boneka beruang, setiap kali dirinya mengunjungi panti. Namun, nihil. Gadis kecil itu tak ada di manapun. Sesaat kemudian, bola matanya berputar ke arah jendela. Seketika nafasnya tertahan saat melihat gadis kecil yang dicarinya tengah bermain ayunan di tengah hujan.

"Kamea," lirihnya. Secepat kilat dia menyambar payung di belakang pintu dan berlari menerobos hujan.

Mendengar derap kaki cepat mendekat, gadis kecil yang dipanggil Kamea itu mendongakkan wajah sedikit. Bibirnya terasa kelu mendapati siapa yang kini ada di hadapannya. Hatinya terasa bergetar dan seolah menemukan kelegaan ketika melihat pemuda yang diingatnya bernama Karang.

Karang berlutut di hadapan Kamea agar bisa menatap wajah Kamea dengan mudah dan menempatkan payungnya di atas kepala Kamea dengan harapan hujan tak lagi mengguyur tubuhnya. Karang menyadari bahwa ada mendung yang menggelayut di wajah gadis kecil dengan nama lengkap Kamealangi. Dia ingat ketika gadis kecil itu menjelaskan arti namanya ketika pertama kali bertemu. Anak perempuan berumur panjang yang membawa keindahan seperti pelangi selepas hujan. Nama unik itulah yang menjadi sebab Karang selalu mengingatnya.

"Kamea kenapa hujan-hujanan di sini? Nanti kamu sakit. Masuk yuk," Karang menyentuh lembut bahu Kamea dan mendapat respon gelengan kecil.

"Kak Karang, Kamea itu suka hujan. Bahkan kata ibu panti, dulu Kamea ditemukan di halaman panti ketika hujan. Jadi, biarkan Kamea di sini." Senyuman kecil terlukis di bibirnya. Senyuman yang terasa getir dan menyesakkan. Jemari kecilnya pun mendorong payung yang dipegang Karang agar menjauh.

Karang mennghela nafas berat. Dia tahu tentang kisah itu sebelumnya, juga dari ibu panti yang dimaksud Kamea. Dan itu sebabnya ada kata Ame dalam nama lengkap Kamea, yang dalam bahasa Jepang artinya hujan.

(Me)nantinyaWhere stories live. Discover now