Bag 1

142 4 0
                                    

Matahari sedang tersenyum pagi ini, rasanya ingin sekali keluar dan merasakan kehangatannya. Hanya duduk di dalam kereta dalam waktu kurang lebih 8 jam membuat diriku jenuh. Bertemankan sebuah novel yang telah khatam ku baca selama perjalanan.

Setelah perjuangan berangkat pukul sebelas malam akhirnya keretaku telah berhenti di stasiun terakhir, stasiun tujuanku. Segerombolan manusia memadati stasiun ini, termasuk aku. Ku gendong tas ranselku, yang hanya berisi baju untuk satu mingguku di sini, keluar dari stasiun ini.

Adat Jawa yang kental kembali kurasakan di kota ini. Bahkan adatnya lebih jawa ketimbang tempat kelahiranku. Tak sabar rasanya untuk mengelilingi kota ini, merasakan perubahan kota ini setelah lima tahun terakhir aku berkunjung.
Saat inilah jiwa berpetualangku muncul. Aku menolak tawaran Ofi, sahabatku yang kuliah di sini, untuk menjemputku. Aku ingin berkeliling sendiri dan mencari pengalaman baru disini selain itu aku juga tidak ingin mengganggu aktivitas kuliahnya sebagai anak arsitektur. Aku cukup tahu betapa banyaknya tugas yang ia miliki, tak seperti diriku.

Sambil keluar dari stasiun aku melangkah mencari sarapan khas Jogja. Jujur perutku mulai lapar karena selama di kereta hanya ku isi dengan roti sobek. Tahu sendiri bukan orang Indonesia tidak kenyang jika hanya memakan roti. Jadi, sekarang waktu untuk memburu makanan.

Suasana saat ini cukup lenggang. Mungkin karena sekarang jam kantor dan sekolah. Untungnya masih ada beberapa warteg yang buka. Tak apalah bukan khas Jogja yang penting untuk sekarang aku. mengisi perutku dengan nasi.
Segera aku memasuki warteg yang penjualnya seorang ibu lanjut usia. Dia tersenyum ramah padaku dan melayaniku.

Sambil sarapan sesekali aku bercengkrama dengan ibu itu. Jika diam terasa sepi karena di warung ini hanya berisi diriku dan ibu itu. Ibu itu bercerita banyak kepadaku tentang jogja hingga makananku habis. aku tak segera beranjak pergi dari situ sambil istirahat aku juga ibgin mendengarkan ibu itu selesai bercerita. Aku tahu dari raut wajahnya ia kesepian di masa tuanya. Maka tak masalah menemani ibu ini.

Saat aku asyik mendengarkan ceritanya tiba-tiba terdengar suara debuman yang keras dari belakangku tepatnya dari arah jalan raya yang sepi di depan warteg ini.

"Astagfirullah, ada kecelakaan Bu." ujarku langsung keluar dari warteg dan disusul oleh ibu tadi.

Seorang pria tersungkur di trotoar dengan darah segar mengalir di kepalanya. Aku segera menghampirinya. Suasana jalan sepi hanya ada beberapa warga yang mengrubunginya. Mereka semua panik dan tak tahu harus berbuat apa.

" tolong panggilkan ambulan atau kendaraan." pintaku pada mereka.

Dengan sigap aku memberikan pertolongan pertama dan mengecek keadaan pria itu. Tak berselang lama datang mobil angkutan yang telah di panggil warga.

"Ini mbak ada angkot, ayo mbak segera di angkat." ujar seorang bapak berkaos biru.

Beberapa warga membantu mengangkat. Aku yang tahu kondisi korban tadi harua ikut mengantar ke rumah sakib bersama bapak berkaos biru tadi, sebagai saksi mata. Sebelum naik ke angkot aku teringat belum membayar makananku. Segera aku menghampiri ibu tadi.

"Bu,--"
" wis nduk ora usah di bayar.. Tulungi ndisek iku." ujar ibu itu sebelum aku sempat berkata. aku pun mengangguk dan tersenyum sebagai tanda perpisahan.

Kami pun berangkat ke rumah sakit yang untungnya tidak terlalu jauh. Selama perjalanan aku memangku kepala korban dan menekan lukanya untuk menghentikan pendarahannya. Sambil berdoa agar pria ini selamat.

Sesampainya di rumah sakit pria itu langsung mendapat pertolongan. Pak Giman, bapak berkaos tadi, menemani pria itu di periksa sedangkan aku mengurus administrasinya dengan modal info dari handphone yang terkunci. aku hampir frustasi karenanya. Hingga tiba tiba ada panggilan masuk. Panggilan itu segera aku angkat tanpa lihat siapa si penelepon.

"Assalamualaikum, Danar kamu dimana? Aku udah nunggu kamu di sini sejam." ujar sang penelepon pria to the point.

"Waalaikumussalam, maaf mas saya ingin memberitahu kalau mas Danarnya masuk rumah sakit. " ujarku tenang.

" rumah sakit dimana? Saya akan segera ke sana." tanyanya mulai panik dari nada bicaranya.

Setelah aku memberitahu tempatnya ia segera mengakhiri sambungan. Cukup lega sekarang karena sudah ada temannya yang akan menanganinya. Aku pun segera bilang ke perawat yang menanganinya untuk menuggu teman si pria tadi.

Tak berselang lama Ofi menelponku. Aku baru ingat kalau aku belum mengabarinya sejak turun dari kereta. Segera aku angkat panggilannya.

"Asslamualaikum, Rahma, kamu dah sampe belum?" tanyanya langsung.

" walaikumusalam. Aku dah sampe kok fi tadi cari sarapan dulu di deket stasiun jadi lama. Kamu nggak usah jemput aku. Sms-in aja alamat kost-an mu." jawabku.

" alhamdulillah kalo kamu dah sampe, tapi kamu yakin mau sendiri ke kostku sendiri? "Tanyanya khawatir.

Aku pun meyakinkannya hingga akhirnya ia setuju dan memutuskan sambungan. Aku harus segera pergi sebelum Ofi tambah khawatir, toh teman pria tadi akan datang.

Aku menghampiri Pak Giman dan pria tadi yang belum siuman. Aku pamitan ke Pak Giman dan memberikan note kecil untuk ucapan ke pria tadi. Walaupun kami tidak kenal setidaknya aku memberikan dukungan moral padanya untuk cepat sembuh.

" Pak saya pamit pergi dulu. Ini nomor telepon saya kalau ada apa-apa dan ini note dari saya untuk pria ini. Sebentar lagi temannya akan datang Pak." pamitku

" iya mbak, saya juga makasih. Kalo mbak mau silaturahmi sama saya datang saja ke toko batik saya deket wartegnya Bu Marni tadi." ujarnya.

" InshaaAllah saya mampir ke toko bapak. Kalau gitu saya pamit ya Pak Giman, nggak enak udah di tunggu teman. Assalamualaikum." ujarku. Allu pergi setelah ia menjawab salamku.

aku melangkah menuju pintu keluar rumah sakit. Pandangnku terfokus pada alamat yang dikirim Ofi. Hingga aku tertabrak seseorang yang membuatku jatuh terduduk dengan handphoneku terjatuh. Aku segera memungut handphoneku yang jatuh tadi tanpa melihat siapa yang menbrakku. Tak perlu marah, karena aku yang salah, tidak dokus ke jalan.

" aduh maafkan saya." ujarnya sambil mengulurkan tangan ingin membantuku. Tapi aku tolak uluran itu dan mencoba berdiri sendiri. Bukannya aku marah tapi bukan muhrim aku memegang seorang pria kecuali dalam keadaan terdesak seperti tadi.

"Nggapk papa, saya juga yang salah." ujarku membersihkan baju. " tadi saya tidak fokus ke ja--" ucapanku terpotong setelah tahu siapa seseorang yang ada di hadapanku.

Jantungku tiba-tiba berpacu cepat. Dia datang lagi. Apa ini takdirmu Ya Rabb?, batinku.

" anda baik baik saja?" tanyanya mulai khawatir. Entah kenapa pipiku terasa panas.

" i-iya saya baik baik saja. Sa-saya juga minta maaf telah menabrak anda." ujarku menunduk. Jujur aku belum sanggup menatapnya.

" hp anda? " tanyanya lagi.
" tak apa, maaf saya permisi dulu." ujarku pamit meninggalkan dia.

Ya Allah, radar ini aktif lagi. Hanya dengan melihat dirinya. Aku tersenyum dan bersedih dalam hati. Tersenyum karena bertemu dengannya dan bersedih karena radar itu aktif lagi. Sebenarnya satu kata yang ingin kuucapkan. "Hai lagi untuknya dan radar ini."

Cinta DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang