Tanpa terasa, dua minggu sudah Tari bersekolah di sekolah barunya. Bukan cuma nyaman dengan sekolah itu, Tari juga merasa cukup nyaman dengan kota yang baru ditinggalinya ini. Yah, walaupun sampai sekarang cewek itu masih pusing sama macetnya, tapi overall, dia cukup senang tinggal di ibukota. Kota dinamis dengan banyak hal baru yang bisa dilihat dan diamatinya.
Kalau sampai ditanya apa yang paling menarik dari kota ini, berani taruhan Tari bakal langsung menjawab pertanyaan itu dengan sebuah pernyataan sederhana tapi begitu apa adanya – kota dua wajah. Dua wajah yang benar-benar bertolak belakang, juga dua wajah berbeda dengan level perbedaan paling ekstrim yang pernah Tari kenal.
Dia, wajah pertama, adalah wajah yang memamerkan keagungan serta keangkuhan. Wajah dengan gedung-gedung tinggi nan megah yang tidak hanya menunjukkan betapa hebatnya kota ini, tapi juga sekaligus menjelaskan betapa angkuhnya setiap individu yang tinggal di dalamnya.
Lucunya, di sisi lain Jakarta juga menyimpan satu wajah lagi. Wajah yang bahkan tidak susah-susah dia sembunyikan. Wajah yang dengan mudahnya dapat dilihat kalau penghuninya mau menengok ke bawah sedikit saja. Ya, wajah itu adalah wajah yang sepenuhnya berbanding terbalik dengan wajah pertama. Di bawah sana, jutaan rakyat miskin memenuhi tempat yang bahkan tidak layak untuk sekedar di sebut rumah. Ironis.
Kedua wajah itulah yang lantas menjadi pemandangan Tari sepanjang perjalanan di dalam bus setiap hari. Bus penuh sesak yang mau tidak mau harus ditumpanginya tiap pagi dan sore.
Sambil mengumpat, Tari turun dari bus yang dia naiki pagi itu. "Mati gue, udah jam segini!" jerit Tari begitu melirik jam tangannya yang so pasti berwarna orange lengkap dengan jarum jam berbentuk Planet Bumi yang seakan mengelilingi matahri.
Pagi ini, Tari datang nyaris telat karena jalan yang dilaluinya, nggak tahu gimana, macet luar biasa. Tari yang memang masih kurang pengalaman tentang Jakarta jelas belum tahu kalau hari Senin dan Jumat bisa mengubah jalanan di kota ini hingga jadi benar-benar di luar nalar – macet parah di sana-sini.
Jam 7 kurang 30 detik, akhirnya Tari berhasil menginjakkan kakinya di halaman sekolah SMA Kencana 7 dengan keringat bercucuran. Keringat hasil berlari-lari dari halte sampai gerbang sekolah yang memang lumayan jaraknya.
Sesampainya di kelas, Tari bahkan langsung menegak habis air mineral Vero yang tergeletak di atas mejanya. Tanpa permisi, gelas berisikan air mineral itu tandas dalam waktu kurang dari 10 detik. Vero yang sejak tadi memperhatikan cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Tari.
"Sorry ya Ver, nanti gue ganti deh minuman lo. Gue haus banget," jelas Tari sambil menghempaskan tubuhnya ke bangku.
"Iya nggak apa-apa," jawab Vero pengertian. "Lo telat bangun apa gimana sih? Tumben mepet banget sampe sekolah."
"Nggak telat bangun sih. Cuma ya gitu, jalanan macetnya nggak kira-kira. Nggak tahu deh, si Komo lagi guling-guling di jalanan kali," jawabnya kesal.
Vero terkekeh. "Kalo lo mau hidup di Jakarta dengan damai sejahtera, lo harus berangkat lebih pagi tiap Senin sama Jumat." Jelas Vero yang langsung ingat bahwa hari ini, hari Senin.
"Emang kenapa?"
"Nggak tahu kenapa, tapi kayaknya udah terjadi semacam kesepakatan bersama kalo jalanan ibukota emang bakalan nggak bersahabat tiap hari Senin sama Jumat. So, supanya nggak telat, kita emang kudu berangkat lebih pagi dari biasanya."
"Gitu ya?" tanya Tari sambil manggut-manggut.
Tapi lagi-lagi, Tari yang udah setengah mati lari-larian sampai napas rasanya hampir putus, kembali dibuat tercengang oleh kehadiran si cowok cuek, penyendiri yang duduk di pojok kelas, tiga puluh menit setelah pelajaran pertama berlangsung! Pagi ini, entah untuk keberapa kalinya, dia datang terlambat. Dan lagi-lagi, sama seperti hari kemarin, cowok itu cuma menganggukkan kepala lalu ngeloyor begitu saja ke tempat duduknya. Tanpa salam, tanpa permintaan maaf, dan juga tanpa hukuman dari Pak Soni yang sedang mengajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga Memang Untuk Matahari (Fanfiction Jingga dan Senja Series)
Fiksi PenggemarFanfiction dari novel bestseller Jingga dan Senja Series by Esti Kinasih. Tentang seorang cewek yang penuh dengan nuansa matahari dan seorang cowok yang justru menyimpan luka di balik semarak jingga. Read the story and I bet you won't regret to know...