3

361 57 2
                                    

Sudah seminggu Yein tidak juga muncul di hadapanku. Satu hal yang mengganjal adalah perkataannya yang bahkan sampai sekarang belum kuketahui. Aku tidak menyalahi Jimin dan anak itu-Taehyung-tentunya. Jadi aku hanya beranggapan bahwa aku hanya bermimpi saja kemarin.

Malam ini, ayah kembali dari tempat kerjanya setelah dua minggu bertugas di kantornya. Aku tidak pernah berharap ia berada di rumah. Ia seperti sebuah duri. Bola duri yang sangat, sangat besar.

"Jadi, bagaimana harimu di sekolah?" Makan malam kali itu, ia membuka mulut, bertanya. Basa basi mungkin?

Dan, aku hanya membalasnya dengan anggukan singkat-malas. Ujung-ujung pasti ia berbicara tentang pendidikan yang jauh dari keluarga. Di Amerika contohnya. Ia sudah berapa kali memintaku untuk kuliah di sana.

"Aku sudah selesai makan." Lantas langsung kutinggalkan meja makan dengan wajah datar. Aku membanting pintu sebelum ia berhasil membuka mulut lagi.

Satu hal yang kupikirkan tentang keluargaku hanyalah-aku lelah. Sangat lelah. Ayah memaksaku untuk melanjutkan usahanya sementara aku ingin menjadi penyanyi-yang jelas-jelas sangat ditentang olehnya. Ia selalu memaksaku untuk mengikuti sejumlah bimbingan belajar, memaksaku menguasai hitung-berhitung-sialan yang selalu saja menguap ketika libur musim panas datang.

"Haah-" Aku mendesah keras sambil menjatuhkan diriku ke tempat tidur. Memandang langit-langit kamarku dengan pandangan kosong dan menghirup bau cat dindingku yang masih baru.

Pintu kamarku diketuk beberapa kali. Seperti ada yang memaksa masuk-mungkin Jinsol.

Jadi, aku memunggunginya dan menatap ke arah balkon kamarku. Aku selalu malas untuk menutup tirai, apalagi saat malam hari. Ketika bintang-bintang berada di sana, memperhatikan.

Pintu kamarku terus diketuk. Kali ini sangatlah memaksa, membuatku berdecak jengkel. Jadilah aku menutup kedua mataku rapat-rapat seakan-akan aku tengah tertidur.

"Jungkook, bangunlah!"

Dengan refleks, mataku membuka. Berhadapan dengan deretan gigi yang rapi. "Annyeong! Apa kabarmu?"

Pasti aku bermimpi.

"Sudah berapa kali kubilang, kau tidak bermimpi!" Gadis itu tampak berapi-api ketika aku mencoba untuk mencubit pipiku keras-keras. "Berhenti melakukan itu, Jeon Jungkook dan dengarkan aku!"

Aku terdiam mendengar teriakannya-semoga bocah berisik itu tidak mendengar teriakan Yein.

"Baiklah, aku mendengarkan."

"Jimin masih sama, ya," ucapnya sambil tertawa kecil. Lalu, ia berdeham. "Begini, aku ingin menyampaikan sesuatu kemarin. Hanya saja, Jimin tiba-tiba datang dan menyela pembicaraanku," jelasnya. Membuatku menguap lebar.

"Kumohon kau sesuatu. Kau adalah diriku. Aku hanya bisa menempel jika bersamamu saja," ucapnya, membuatku tertegun.

"Apa?" tanyaku mengernyit.

"Satu hal yang aku inginkan hanyalah menjadi penyanyi." Ia tersenyum tipis.

Penyanyi. Mimpi yang sama denganku. Namun, kurasa sangat sulit menggapai cita-cita semacam itu. Ditambah dengan pria-sok-sibuk itu yang terus-menerus memaksaku untuk melanjutkan perusahaan miliknya.

Dengan canggung, aku menatapnya-tidak pernah aku sedekat ini dengan gadis. "Lalu, apa yang harus kulakukan?" tanyaku.

Yein berdiri dan meraih fotoku dan mama yang berdiri sempurna di meja belajarku. Foto itu ketika mama masih sangat sehat-aku merindukan saat-saat itu.

Finding FreedomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang