¹Dvyna : saat di mana ikan Dvy (ikan terbang bersisik perak) dalam jumlah besar bermigrasi menuju perairan yang lebih dangkal untuk mendapat cahaya bulan yang lebih melimpah. Cahaya bulan dipercaya sebagai sumber kekuatan mereka untuk terbang, jika cahaya bulan yang mereka dapat hanya sedikit, mereka akan kehilangan kekuatan dan mati. Momen ini biasanya menjadi suatu pertunjukan besar bagi orang banyak karena bisa menyaksikan ikan Dvy terbang ke sana ke mari berlomba-lomba mendapat limpahan cahaya bulan. Dvyna hanya terjadi selama sebulan sekali.
² Is breá liom tú, aingeal : aku mencintaimu, bidadariku. (Irish)
•||•||•||•“Lalu ... apa yang akan kau lakukan setelah ini?”
Beberapa saat setelah Conrad dan Lind membawa Neimn pergi, kini tinggallah Fhreii, Jarvis dan Rava di halaman pondok. Keheningan masih menyelimuti sampai pertanyaan dilontarkan Jarvis.
Dengan dahi mengerut tipis, Fhreii menatap Jarvis dan Rava bergantian. Entah mengapa, Fhreii merasa bimbang akan pilihannya. Padahal saat pertama kali bertemu dengan gadis yang mengenalkan dirinya sebagai Luna itu, Fhreii sudah yakin apa yang akan dilakukannya; eksekusi.
Namun sebuah bayangan yang ia lihat malam tadi membuat keteguhannya goyah. Fhreii melangkah mendekati Jarvis dan Rava lamat-lamat. Ia memasang tampang serius bercampur dengan kebingungan dan kebimbangan yang begitu kentara.
“Aku ...,” Fhreii berjeda, ia menarik napas pendek lalu melanjutkan, “... akan segera melakukan eksekusi padanya.”
Bibir Jarvis berkedut untuk tersenyum miring. Ia paham. “Putera mahkota berandalan, pembangkang ini ragu?”
Seakan tertohok langsung di dadanya, Fhreii membulatkan matanya, menatap komandan pasukan khusus di depannya ini dengan pandangan tajam. “Apa maksudmu?” desis Fhreii sinis.
Rava melangkah mendekati Fhreii lalu tangannya terangkat untuk menepuk pundak sahabatnya itu. “Kau ragu, Fhreii,” tuding Rava, “Aku sudah mengenalmu sejak lahir. Aku mengenal dirimu luar dalam,” lanjutnya.
Fhreii berdecih. Ia mendelik ke arah sepupu sekaligus sahabat dekatnya ini. “Mungkin tak sepenuhnya.”
Senyum tipis mau tak mau terbit dari bibir Rava. Iris abu terangnya itu menatap Fhreii sejenak, lalu ia melangkahkan kakinya mundur, menjaga jarak dari Fhreii. Rava pun bersedekap.
“Aku akan pergi ke istana. Dan dalam beberapa hari, kepala gadis itu akan dipajang di dinding pondok.” Fhreii berdesis tajam sembari menunjuk dinding teras pondok dengan dagunya. Ia membalikkan punggungnya meninggalkan Jarvis dan Rava. Lalu dengan langkah mantap, ia berjalan menuju kandang kuda di belakang pondok untuk mengambil Ghontur, kuda kesayangannya yang selalu berada di sana.
Jarvis dan Rava termangu akan ucapan keji Fhreii. “A-ada apa dengannya?” bisik Rava kebingungan.
Jarvis sempat berpikir sejenak, akhirnya menangkap sebuah hipotesis, senyum simpul terbit di bibirnya yang sensual, ia pun berujar, “Dia gengsi, kawanku. Dia sudah kepalang basah mengatakan bahwa gadis itu akan ia eksekusi, padahal batinnya sendiri ragu apa ia bisa melakukan itu atau tidak. Ck ck. Dasar pangeran bodoh.”
“Lalu ... apa kau mendukung keputusan itu?”
Jarvis beralih menatap Rava, iris merahnya menatap dengan penuh arti, seakan banyak pemikiran yang berkelibat dalam benaknya. “Tidak.”
“Kenapa?” Rava terkejut akan jawaban yang diberikan Jarvis. Ia sungguh takkan pernah mengerti jalan pemikiran komandan pasukan khusus ini. Dahi Rava berkerut, matanya menyipit menatap Jarvis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aeritys
Fantasía[•] "Dunia kita berbeda," Fhreii memberi jeda, menarik napas lebih dalam dan berusaha menahan rasa sesak di dadanya, "kita tidak pernah ditakdirkan untuk bersama. Di Athyra, maupun di duniamu. Aku takkan pernah bisa melawan para Dewa. Maka dari itu...