Part 7

56 6 11
                                    

Sinar matahari yang hangat menyinari atap-atap rumah penduduk Yvonne, desa Geldia Frye di Selatan. Udara yang hangat khas Selatan memang selalu menjadi favorit ku.

Pagi ini, St. Xaverius masih libur, jadi aku bisa bangun lebih siang. St. Xaverius, sekolah Geldia Frye. Kita harus menamatkan sekolah Geldia Frye selama 4 tahun. Setelah itu, kita akan masuk di sebuah kelompok. Ada beberapa kelompok yang terkenal. Seperti Andreas Mansion, Edward Castel dan Timotheus Mansion.

Seperti biasa, Ayahku sudah bekerja di ruang kerjanya semenjak subuh tadi. Ibuku juga sudah bekerja membuat obat di laboratorium nya.

Ayahku seorang pembuat senjata sekaligus Kapten Penyerangan Geldia Frye di Selatan. Sedangkan ibuku seorang Geldia medis di sini.

Baru saja aku selesai mandi, kakak angkatku, Karsten Karl sudah menunggu sambil membawa ransel merah tua di punggungnya dan pisau di tangannya. "Ayo, ayahmu menyuruh kita untuk mencari beberapa bahan di hutan."

"Ya. Kenapa dia tidak cari sendiri?" gerutu ku kesal. "Ini kan hari libur. Harusnya kita bisa bebas bermain."

Karsten tertawa sembari mengacak pelan rambutku. "Sekeras apapun dia padamu, kau tidak boleh begitu, Allosha Draserra Samuelle."

Sebal juga jika Karsten sudah menyebut nama lengkap ku. Aku tidak terlalu suka nama Draserra. Menurutku itu nama yang aneh.

Ayahku memang cukup keras padaku. Dia melatih ku dengan keras, sama sekali tidak pernah menunjukkan sikap sebagai 'Ayah'. Ibuku juga, dia terlalu cuek dan sibuk dengan dunia nya sendiri. Mungkin Karsten lah yang satu-satunya keluarga yang menyayangiku.

Bukan satu-satunya sih, ada nenekku, Lucianne, yang sangat baik padaku dan Karsten. Dia meninggal setahun yang lalu. Kematian nya misterius, dia ditemukan tewas tertusuk di rumah nya, di desa sebelah, desa Marcellia.

Akhirnya aku dan Karsten berangkat ke hutan. Hutan selalu terlihat sepi, hanya sedikit orang yang datang ke sini. Kami satu-satunya anak berusia 10 dan 11 tahun yang sudah terbiasa keluar masuk dari hutan perbatasan ini, Hutan Selatan.

"Karsten, apa yang perlu kita ambil?"

"Tanduk Kavanagh." ucapnya tenang. "Kavanagh banyak berada di balik gua itu." Karsten menunjuk sebuah gua besar yang jaraknya sekitar 300 meter dari kami.

Kavanagh, hewan seperti kerbau yang memiliki tanduk berwarna merah berkilau seperti batu delima. Kavanagh bukan hewan yang ganas, tapi dia cukup berbahaya jika kita mengganggunya. Tanduk nya biasa digunakan untuk mata anak panah.

Aku dan Karsten memanjat ke atas gua. Dari atas situ, terlihat padang rumput yang sangat luas. Ada selusin Kavanagh sedang memakan rumput. Aku mengambil busur ku.

"Sekarang, Karsten?" Aku bertanya pada kakak angkatku.

"Ya."

Kupasang anak panah di busur. Aku memang tidak terlalu ahli menggunakan panah, tapi senjata seperti ini sangat efektif untuk memburu hewan. Aku membidik Kavanagh dengan tanduk terbesar diantara kawanannya.

Sempurna, dia tidak menyadari bahaya. Aku menembakkan satu anak panah. Dengan sempurna, anak panah itu menancap di leher Kavanagh tadi. Kawanan nya langsung berlari tunggang langgang karena menyadari adanya bahaya.

Kavanagh yang tertembak hanya berdiri sambil mengeluarkan lenguhan kesakitan. Tunggu, ada yang aneh dari Kavanagh itu. Kavanagh itu perlahan berubah menjadi sosok Demon perempuan dengan gaun hitam dan surai hitam pekat sepinggul yang dikepang. Aku terkisap.

Dimidium Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang