Pernah dengar frase terkenal 'love at first sight'?
Yeah? Biar kuberitahu―itu sama sekali nggak benar. Mereka hanya ingin membuatnya terdengar mudah. Jatuh cinta nggak bisa semudah itu, dalam kenyataanku, karena oh, berita lama, reality is a bitch and you shouldn't bitch back about it. Hal yang sama berlaku dengan cinta.
Atau mungkin hanya aku satu-satunya orang yang membenci cinta, aku nggak peduli. Kalau cinta nggak ada, aku nggak perlu lahir ke dunia ini. Kalau cinta nggak ada, aku nggak harus mendekam di panti asuhan gara-gara ayahku seorang idiot yang berpikir dia hidup di era Shakespeare dimana Romeo dan Juliet harus tetap bersama walau harus merenggang nyawa. Kalau cinta nggak ada, aku nggak perlu menghabiskan waktu luangku di pojok perpustakaan umum kota dengan laptop menyala dengan aplikasi MsWord kosong terbuka dalam waktu sekian lama, lantaran stuck mau bikin puisi cinta macam apa.
Sekarang sebelum menghakimiku, enggak, puisi bodoh yang bakal aku bikin nanti bukan buatku. Ini pekerjaan sampingan yang cukup menjanjikan selain part-time job yang kudapat di restoran fastfood, kalau kau mau tahu. Cry it out, go ahead. Oh, the irony. Aku membenci cinta setengah mati tapi hidup dan kenyang juga karena itu?
'Rai, ayolah. Kamu cuma perlu bikin dua bait! Itu berarti delapan baris. Empat puluh kata. Rangkai semua dan bikin hati meleleh, lalu dapatkan bayarannya.'
Menyemangati diri sendiri bukan hobiku, but it works.
"Nugas?"
Aku baru akan mengetik, sebelum mengangkat kepala dengan sangat cepat mendengar suara bariton tersebut. Tepat di depanku duduk seseorang dengan rambut hitam berantakan yang nyaris menutup matanya, kaos putih lengan 1/2 warna hitam dan kacamata. Dia menatapku datar, seolah-olah sapaan barusan hanya halusinasiku saja.
"... enggak," aku menjawab ragu-ragu. Banyak meja dan kursi kosong di ruangan ini tapi cowok itu memilih duduk tepat di sana? He's that lonely or what?
"Mind to elaborate? Kamu nggak berubah posisi sejak duduk disitu meski ekspresimu cukup menjelaskan kalau kamu rada desperate," cowok itu menyandarkan punggungnya sekarang.
Entah kenapa aku bergidik. Seriously, dia semacam stalker atau apa? Kalau aku nggak salah aku sudah disini dua jam dan dia terus memperhatikan??
"Bukan apa-apa sebenernya. Cuma bantu temen bikin puisi... cinta," dan nggak tau juga apa yang bikin aku malu, tapi aku tahu leherku memanas dan tiba-tiba kaki meja di sisi kiriku tampak 1000 kali lipat lebih menarik dari sebelumnya.
"Puisi cinta," ulang cowok itu dengan sedikit nada geli di suaranya. "That's pretty lame."
Aku merengut dan mencibirnya. "Well then excuse me because that's what I've been doing to make a living."
Kali ini dia mengangkat kedua alis, tampak heran. Bodoh, ketahuan dalam waktu nggak sampai semenit. Impressive, Rai. Dia memiringkan kepala dan aku menggigit bibir, tiba-tiba merasa terintimidasi.
"Sorry then," dia berkata. "Aku Raven."
Bukan berarti aku bakal menatap dia sekarang. "Rai."
"Mungkin aku bisa membantumu, Rai," tawar Raven, dan mau nggak mau itu membuatku tergoda lantaran aku sendiri pengen cepat pergi dari tempat ini. "Anything specific about the poetry you're gonna making?"
Aku menggeleng, kemudian mengerutkan kening. "Cuma yah... tentang love at first sight. Aku bahkan nggak tahu generally apa itu cinta, ck."
Anehnya Raven malah tersenyum samar. Dia berdiri, melangkah ke arahku dan berhenti di belakang punggung. Aku nggak tahu kenapa tiba-tiba aku memutuskan untuk menahan nafas ketika Raven membungkuk, tangan terulur ke depan membuatku terperangkap di tengah dan membeku, sementara jemarinya yang kurus dan panjang meraih laptop agar lebih dekat sebelum akhirnya bersiap menari di atas keyboard.
KAMU SEDANG MEMBACA
supernova [in ed.]
Romancekarena Rai pikir 𝘭𝘰𝘷𝘦 𝘢𝘵 𝘧𝘪𝘳𝘴𝘵 𝘴𝘪𝘨𝘩𝘵 itu cuma 𝘣𝘶𝘭𝘭𝘴𝘩𝘪𝘵 lainnya tentang cinta. /𝘰𝘯𝘦 𝘴𝘩𝘰𝘵 sekuel the vow & alter ego/ /𝘰𝘳𝘪𝘨𝘪𝘯𝘢𝘭 𝘤𝘩𝘢𝘳𝘢𝘤𝘵𝘦𝘳 ravenrai au/ /peringatan konten dewasa untuk tema lgbt, 𝘵𝘳𝘪𝘨�...