3

43 4 7
                                    

Hari kedua
Aku membuka pintu mobil lalu melangkah cepat ke beranda sekolah. Pagi ini hujan turun deras dan aku baru saja diturunkan tepat di depan pintu gedung sekolah. Hal yang paling aku benci tapi suka tidak suka harus aku lakukan kalau tidak mau terkena hujan.
Koridor sekolah sangat lengang, yang terdengar hanya suara hujan dari luar. Lampu-lampu yang biasanya sudah di matikan, masih menyala karena mendung yang tidak pernah absen menemani hujan. Udara masih terasa dingin padahal aku sudah mengenakan sweater.
Saat akhirnya sampai di ruang ujian—yang isinya hanya beberapa kakak tingkat yang sedang berdiskusi—aku segera duduk di sebelah Jessica, dia tidak bergeming sedikit pun saat aku datang. Itu bisa di katakan pertanda baik mengingat hampir setiap kali aku berada di dekatnya, dia lebih sering sedikit menjauhkan bangkunya.
Jam pertama hari ini adalah ujian Bahasa Indonesia, entah apa yang harus aku pelajari. Materi ujian yang keluar pasti berupa paragraf yang di minta untuk mencari tema, alur, setting dan semacamnya atau, puisi dan, bisa juga dialog. Bahasa Indonesia adalah bahasa sejak lahir tapi herannya susah sekali mendapatkan nilai sempurna di mata pelajaran itu.

Suasana sangat hening ketika ujian sudah di mulai. Yang terdengar hanya suara kursi di belakang karena kaki-kaki kursi yang tidak sama tingginya dan gumaman kecil orang-orang di sekitar.
Aku mengangkat kepala karena pegal lama-lama menunduk menatap soal. Pelajaran Bahasa Indonesia, bahasa sendiri tapi rumit, dengan jawaban-jawaban yang hampir sama-sama benar.
Pengawas kali ini adalah Ibu Sri, guru perempuan yang mengajar Matematika di kelasku dan seorang guru laki-laki yang rambutnya telah beruban. Mereka sepertinya sibuk dengan masing-masing, Ibu Sri memperhatikan kami dan terkadang berjalan-jalan di antara kami. Sedangkan pengawas yang satunya sibuk membaca koran.
Aku kembali membaca dan mencermati soal. Tanganku mulai mengisi lembar jawaban lagi.
"Yang udah selesai, kumpullah." ujar Bapak Pengawas dengan santai. Dia meletakkan korannya lalu berjalan mengitari kami. Patroli lain di mulai.
Untuk pelajaran ini, ponselku tersimpan rapi di tas. Aku hanya membutuhkannya di setiap ujian pelajaran hitung-hitungan, juga kimia dan biologi. Parah sekali, seharusnya aku memang tidak masuk kelas IPA dan apa pun yang terjadi seharusnya saat itu aku memalsukan tanda tangan orangtuaku saja daripada begini.
Konsentrasiku terpecah sudah. Bahasa Indonesia dengan soal-soalnya yang penuh dengan kalimat-kalimat yang aku mengerti tapi tidak aku pahami membuatku pusing tapi bukan dalam artian yang sebenarnya.
"Namamu Fauzan?" tanya Bapak Pengawas itu.
Semua mata sepertinya sedang menatap Ojan, termasuk aku.
"Iya Pak"
Bapak itu memundurkan langkahnya melihat ke kartu ujian yang tertempel di meja murid lain yang ada di depan Ojan. Dahinya mengernyit lalu kembali ke meja Ojan.
"Di depan namanya Gita." ujarnya sambil menatap Ojan. Dia berjalan ke meja di sebelah kakak tingkat yang bernama Gita lalu menanyakan namanya.
"Idham Pratama Pak, nama saya Idham."
"Dia namanya Idham. Gita dan Idham. Kamu di belakang kenapa namanya Fauzan?"
"Memang.. begini urutannya dari awal Pak."
"Kamu ga nuker bangku kan?" tanya Pengawas itu sekali lagi.
"Enggak Pak. Emang begini dari awal saya masuk, kartu ujian saya udah nempel disini." suara Ojan terdengar tergesa-gesa.
Di sebelahku, Jessica yang biasanya tidak peduli dengan hal yang seperti ini malah sering bergerak. Dia menatapku sekilas lalu memandang ke arah Ojan, detik berikutnya dia mengalihkan pandangan ke depan kelas lalu entah apa lagi yang akan dia lakukan agar tidak berhenti bergerak. Kali ini kayu panjang yang mengganjal kaki kami bergetar karena dia menggoyang-goyangkan kakinya.

Tepat saat itu, aku tersadar. Nama Jessica diawali dengan huruf J. Seharusnya dia duduk di barisan belakang. Bahkan menurut alfabet, Jessica seharusnya berada di belakang barisan Gita dan Idham. Tiba-tiba aku menyadari kenyataan lain. Mungkin seharusnya Ojan duduk disebelahku. Perutku seperti dipenuhi kupu-kupu lalu tanpa sadar aku tersenyum kecil. Detik berikutnya aku menggigit bagian dalam pipiku, mencoba mengendalikan senyuman. Tidak ada yang lebih ilusi daripada hal ini, sekaligus menyedihkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 10, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Logika Robin HoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang