My First Secret

513 35 12
                                    

Aku sampai di pos jaga pukul 9 malam.

Entahlah, tapi aku merasa hari ini sangat melelahkan. Para prajurit berdatangan tiada hentinya. Hal yang sangat disayangkan adalah, mengapa aku harus menolong tentang Jepang, bukan tentara dari negaraku sendiri?

“Dokter sudah ingin pulang?” seseorang menyentuh bahuku.

Aku tersentak kaget, “Ah, iya nih.”

“Hati-hati ya dok. Sampai berjumpa besok.” Orang itu tersenyum.

Aku membalas senyumnya dengan senyuman tipis, lalu buru-buru keluar dari pos. Orang tadi namanya Abi. Dia salah satu perawat laki-laki yang kerjanya cekatan. Kudengar dia akan segera naik pangkat menjadi dokter. Baguslah. Menjadi satu-satunya dokter di situasi seperti ini sangat melelahkan.

Aku terus berjalan di tengah gelapnya malam.

Aku tidak takut. Hampir tiap hari aku melewati jalan ini.

Sayup-sayup aku mendengar ada suara orang mengobrol. Sebenarnya aku cukup penasaran apa yang orang itu obrolkan karena aku mendengar nama Nadira disebutkan. Tapi aku tidak ada waktu untuk menguping. Aku harus k epos jaga tentara Indonesia.

Ini sebuah rahasia.

Yang tau hanya segelintir orang yang kupercaya. Salah satunya adalah Nani. Dia sudah bekerja denganku 2 tahun belakangan ini. Ya, aku sudah menjadi dokter sejak umurku 18 tahun.

Setelah 5 menit berjalan, aku sampai di pos yang cukup ramai. Sebagian besar orang-orang yang berdatangan adalah prajurit.

Hatiku terenyuh membayangkan aku akan menolong mereka, orang yang rela membela Negara ini sampai titik darah penghabisan dengan berani.

“Malam, dokter.” Sapaan seorang suster menyadarkanku bahwa aku sudah sampai di pos dan harus berkonsentrasi.

“Malam. Di dalam sudah banyak pasien?” tanyaku, lalu menaruh tas di atas meja kayu yang terlihat rapuh.

“Lumayan, dok. Ada beberapa yang sudah ditangani, namun ada juga yang belum.” Jawabnya.

Aku mengangguk, lalu memakai maskerku, “Baiklah. Saya akan cek keadaan mereka.”

“Mari dok saya antar.”

Akupun mengikuti suster ini ke arah rumah sakit kecil yang jaraknya tidak terlalu jauh dari pos. Bangsal rumah sakit ini dipenuhi oleh orang-orang yang tidur di lantai. Mereka semua para prajurit Indonesia yang terluka.

Beberapa prajurit itu memberiku hormat lemah saat aku lewat.

Aku terharu.

Aku langsung membalasnya dengan semangat.

Perawat ini mengantarkanku ke sebuah kamar kecil. Di sana terbaring seorang prajurit. Kuketahui namanya Amir, dari papan identitasnya.

“Pahanya terkena peluru, dok. Peluru itu sudah kami ambil, namun bekasnya masih belum ditangani. Yang tahu cara menanganinya dengan baik hanya dokter Nadira.” Jelas suster itu.

Akupun mengambil kapas dan alkohol yang ada di meja kecil di samping kasur, “Kalau gitu akan kuajarkan. Pertama, bius local dulu bagian pahanya..”

Dan lagi-lagi aku akan bekerja sama dengan alat-alat untuk menyembuhkan sakit.

Bedanya kali ini aku ikhlas, dan aku tidak segan-segan untuk mengajarkan hal baru ke suster yang ada di sini.

*

“Nadira pulang..” ucapku lemah saat aku membuka pintu depan dengan perlahan.

Ayah dan Ibu pasti sudah tertidur, katena ini pukul setengah dua pagi. Aku melepas sepatu hitamku dan kuletakkan di samping kanan pintu.

The Battleground's ManWhere stories live. Discover now