Alunan melody menghiasi ruangan, membuatku terhanyut pada nada-nada yang muncul dari tarian-tarian lincah jariku diatas tuts-tuts piano. Chopin Etude in E Major, op.10, No.3 seperti membawa jiwa dan ragaku masuk ke dalamnya, menikmati gejolak perasaan yang timbul dari alunan indahnya.
Chopin Etude in E Major, op.10, No.3, sebuah komposisi Chopin yang sudah bertahun-tahun aku pelajari. Membuatnya bahkan terasa seperti sebagian dari diriku. Rasa sedih yang mendalam.
"Tristesse lagi?" Suara baritone itu membuatku terpaksa menghentikan permainan, ku dongakan kepala untuk melihat siapa pemilik suara yang terasa tidak asing lagi.
Aku yakin mengenalnya tapi masih berharap jika itu bukanlah dia.
"Apa kau merindukanku, nona Tristesse?" Deg, aku menatapnya dengan seksama, seolah tersihir untuk terus menatapnya tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun, memfokuskan segalanya terhadap dia. Hanya kepada dia.
Entah sudah berapa kali bibirku terbuka dan menutup lagi, banyak hal yang ingin kusampaikan, tapi semuanya tidak ada yang bisa aku ucapkan. "Dan...."
Dia hanya tersenyum simpul, mengingatkanku akan sekelebat bayangan masa lalu yang harusnya tidak muncul lagi. Perasaanku sungguh tidak enak.
"Apa selama aku tidak disini, hanya Tristesse yang selalu kau mainkan?" Tanyanya sambil berjalan kearahku, bahkan ketukan sepatu panthopelnya terasa begitu mendebarkan. Kemudian dia mengambil kursi dan menempatkannya di sebelahku.
"Aku berbeda denganmu tuan pianist handal, hanya ini yang aku bisa," jawabku dengan tidak mengalihkan pandangan sedikitpun. Aku takut ini semua hanya seperti oase di padang pasir atau lebih parahnya ini hanya bunga tidurku karena terlalu merindukan sosoknya.
Dia tersenyum geli, "kau selalu seperti itu! Dan jangan memperhatikanku sebegitunya, kau membuatku malu, Diana!"
Mau tak mau aku ikut tersenyum, aku sangat merindukan pria ini. Kudekap dia dengan erat, terbesit bahwa aku tidak boleh melepasnya lagi. Tapi tunggu, aku tidak boleh egois.
"Kapan kau pulang, Dan?" Tanyaku tanpa perlu bersusah payah melepaskan dekapanku. Aku yakin, sekecil apapun volume suaraku, seorang Yovin Daniel pasti akan mendengarnya. "Aku sangat merindukanmu."
Daniel membalas dekapanku, dia membenamkan seluruh wajahnya di bahuku. Ya, kami butuh beberapa saat seperti ini. Melepaskan rindu yang selalu ditahan mati-matian selama ini.
"Jangan membuatku menjadi merasa bahwa kepergianku ke Berlin itu sia-sia Diana, semua itu untuk kita," ucapnya parau.
Aku hanya menghela napas pelan. Aku sangat paham, kepergiannya memang untuk kami. Untuk menghapus semua abu-abu ini.
"Lagipula, kau pasti terpesona denganku setelah kita tidak bertemu sekian lama," ujarnya menggoda.
Aku hanya memukul lengannya perlahan. Bisa-bisanya dia menggodaku disaat-saat seperti ini, dasar perusak suasana!
"Kamu tahu, baumu seperti knalpot, Dan!" Ujarku sambil menahan tawa melihat ekspresinya yang mendadak shock.
"Benarkah?" Geramnya tertahan, "ah menyebalkan! Tau begitu tadi aku naik mobil saja kesini. Padahal aku ingin menyapamu dengan tubuh yang wangi. Arrgghh....Semuanya jadi sia-sia deh!"
Hal itu sontak membuatku tak mampu menahan tawa lagi. Padahal aku hanya bercanda mengenai bau tubuhnya tapi respon yang dia berikan sungguh di luar dugaan. Ya ampun, sudah berapa banyak hal yang berubah sejak kepergiannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Tristesse [1/1 END]
Short Story#WARzone ada kalanya manusia harus bisa melepaskan tanpa sebelumnya pernah memiliki [cerpen] [selesai]