Didedikasikan untuk AkiyamaAoi, arigatou, Lulu! Makasih udah mau jadi salah satu first reader. Sebenernya mau kudedikasiin ke kak @wanda-ay juga, soalnya udah bikin terinspirasi oleh diksinya yang wow banget. Makasih, kak!
***
Suara embusan angin sepoi terdengar, mengalun syahdu bersama melodi klasik yang diputar. Mataku terpejam sesaat, menikmatinya tenang. Pelan-pelan, cahaya senja masuk melalui jendela kayu yang engselnya bergerak, nyaris terbuka seluruhnya.
Kubuka mataku, kembali bersitatap dengan pemandangan di sana. Wanita itu masih tergugu di kursi, sama seperti dulu. Dalam diam dan senyap sore, jemari penuh kasihnya membuka satu demi satu lembaran kertas putih yang tak lagi kosong, berhiaskan barisan huruf terangkai bertinta hitam. Netranya bersinar redup, ditimpa senja yang samar-samar pergi.
Aku ikut bergeming, menyaksikan wanita itu bergerak dari duduk setelah sekian jam menyandarkan punggung nan letih miliknya di kursi. Kulihat wajahnya dilingkupi sendu, sama seperti tatapan miliknya yang terbungkus luka. Aku terdiam menatapnya.
Suasana nostalgia yang sedari tadi mengalir, hilang sekejap, tatkala si wanita menghentikan laju piringan hitam usangnya. Ada sunyi yang meraja pada tiap-tiap jejak sang wanita yang pergi, melangkah sembari menggenggam tumpukan kertas yang tadi dibacanya.
Dalam senyap, kuikuti arah kakiknya menapak. Tubuhnya berangsur meninggalkan rumah berdinding dan berjendela kayu itu, diiringi barisan cahaya jingga memudar, tergantikan serat malam terbentang samar.
Renta tubuhnya tak henti bergerak maju, menghalau tatapan orang-orang yang menyiratkan rasa kasihan. Aku tahu dia tak suka dikasihani, karena kini, detik-detik di mana sore menjelma gulita bersaksi atas gigihnya. Tak sekalipun dia berhenti mengayunkan kakinya, menghadang pekat bersanding beku merambat.
Masih kuikuti dia tanpa sepatah kata terlontar. Ayuan langkahnya yang tenang, kini beranjak menuju kursi panjang di area taman yang sunyi. Lampu-lampu di tempat itu menyala damai, membuatku sadar akan prajurit malam yang telah menyergap seluruhnya.
Wanita itu kini duduk. Aku lagi-lagi mengikutinya, ikut bergeming di sisi kiri badannya. Tanpa tolehan kepala atau lirikan mata, kutahu ia tak sadar akan sosokku.
Kulihat dia menatap kosong semak belukar di hadapannya. Aku tahu ada kesedihan berembun di sudut matanya, yang kemudian tumpah membasahi wajah itu. Kurasakan bara kesedihan mengelilingi atmosfer di antara jaraknya denganku.
Tampak meski samar kemuraman dalam setiap gerakan bahunya yang bergetar pelan. Aku mengetahuinya. Lalu, entah mengapa, hatiku seolah terbakar nyala api kesedihan yang sama-aku tak tahu apa.
Dalam tangis pilunya, kuamati dia mulai membuka barang yang dibawanya. Kertas berhiaskan tinta itu kini basah. Pelan-pelan, si wanita membacakan isinya.
"Wahai para penghuni dunia ... ."
Suara si wanita mengalun jernih, sejernih embun pagi yang kusuka. Tiap katanya yang terucap mengisi kesunyian perlahan.
Aku terhanyut.
***
Wahai para penghuni dunia.
Hari ini, ketika kalender menunjuk pada angka ke dua puluh dua di bulan Desember, senja mulai merayap. Aku masih berdiri di depan jendela, menanti kicau burung yang terkadang hinggap di dahan pohon kesukaanku. Sinar lembut berwarna oranye menyiram wajahku. Ada kehangatan yang menimpa hati, membuatku tersenyum.
Derit pintu kayu yang sangat kukenali ritmenya terdengar. Ibuku muncul di sana, menghampiri tubuhku yang kemudian duduk di kursi dekat jendela. Ada semburat sendu menghias wajahnya. Kutunggu ibuku bicara dalam diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji
Short StoryJanji yang kuyakin, akan kutepati dengan sempurna. Amazing cover by @steefoy, tysm! Copyright ©2016 by @aotsuki_chan.