BAB 10

3K 187 5
                                    

Hari ini Tari menyaksikan satu hal baru. Sesuatu yang mungkin belum pernah dilihat banyak mata. Ari, tertawa. Tawa lepas pertamanya. Tawa yang anehnya, hadir karena lelucon yang menurut Tari begitu biasa.

Tari menggelengkan kepalanya untuk yang kesekian kali. "Nggak mungkin. Ini pasti ada apa-apanya," tutur cewek itu pada sang surya yang dilukis di langit-langit kamarnya.

Tari kembali mengingat-ingat kejadian tadi. Perlahan, cewek itu mulai memutar keping memori mereka layaknya sebuah CD. Kalau diingat-ingat, Ari yang tadi menemuinya adalah Ari yang sama dengan Ari yang dia kenal sebelumnya. Ari yang dingin. Ari yang cuek. Ari yang ketus.

Bukan cuma itu, Ari bahkan kelihatan cukup gelisah. Entah apa yang dipikirkannya, tapi semua pertanyaan Ari tentang namanya selalu dia utarakan dengan nada getas. Ari juga jelas-jelas keliatan sakit mata tiap melihat semua aksesorisnya yang serba matahari.

Dan semua ketidaksukaan itu rasanya baru berakhir saat dirinya menyebutkan nama adik, yang untungnya, tidak jadi dilahirkan oleh sang mama. Memang tidak banyak lagi yang Tari bicarakan dengan Ari sesudahnya. Karena tidak lama pasca Tari melihat tawa itu, bel tanda istirahat usai berbunyi. Dan saat Tari mengajak cowok itu kembali ke kelas, Ari menolak dan malah kembali ke atas dak.

"Kimia kan? Elo aja deh. Gue lagi males denger Pak Soni nyebutin nama buyut-buyutnya," jawab Ari sambil kembali memanjat pohon yang menghubungkannya dengan dak.

Tanpa sadar, Tari tersenyum. Entah apa yang telah mengubah Ari. Yang pasti, Tari berharap ini tidak hanya terjadi untuk satu hari.

Tari segera memejamkan matanya. Berharap esok cepat datang agar dia bisa segera memastikan bahwa hari ini bukanlah sekadar mimpi.

***

Moment yang begitu Tari tunggu akhirnya tiba. Pagi ini, Ari berjalan memasuki kelas XII IPA 2 yang menjadi kelasnya juga kelas Tari.

Saat cowok itu berjalan mendekat, Tari refleks tersenyum. "Pagi," sapanya normal.

Ari menganggukkan kepalanya perlahan sambil terus berjalan menuju mejanya yang terpaut tiga bangku dari meja Tari.

Walaupun Ari tidak membalas salamnya dengan kata, Tari cukup puas. Pagi ini doanya terjawab. Memang tidak banyak yang berubah. Tapi paling tidak, sekarang Ari tidak lagi mendadak buta dan tuli terhadapnya.

"Ari serius ngangguk sama lo?" tanya Vero yang ternyata juga memperhatikan kejadian tadi. Hari ini, Vero sudah kembali ke sekolah. Walaupun tubuhnya belum terlalu fit, ulangan Fisika yang dijadwalkan berlangsung hari ini membuat cewek itu terpaksa masuk. Mungkin itu juga yang membuat Ari terpaksa berada di kelas mereka pagi ini. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, Tari berterima kasih kepada FISIKA!

Kepada Vero yang duduk di sebelahnya, Tari cuma mengedipkan mata dengan jahil sebagai jawaban.

"Padahal baru dua hari gue nggak masuk, tapi kok kayaknya gue udah ketinggalan banyak berita ya?"

"Kayaknya sih," goda Tari membuat Vero semakin penasaran.

"Cerita!" tuntut cewek itu.

Tari tidak menjawab, saat ini cewek itu malah sibuk menunjuk Bu Indar yang sedang berjalan memasuki ruang kelas dengan dagu terangkat tinggi.

Sambil cemberut, Vero terpaksa menahan keingintahuannya, paling tidak, sampai bel akhir pelajaran berbunyi.

"Hehehe... penasaran, penasan deh lo!" kikik Tari dalam hati.

***


Jingga Memang Untuk Matahari (Fanfiction Jingga dan Senja Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang