Amnesia tak seburuk dalam bayanganmu. Tak seburuk seperti di film yang terbangun dari koma lalu tak ingat apapun. Lucunya, ia masih ingat bagaimana pelajaran di sekolah, menulis, dan membaca. Coba bayangkan, kalau amnesia itu semacam ilmu sihir. Aku bisa bebas memilih memori apapun yang ingin kulupakan, atau menghapus ingatan orang lain hanya dengan mantra.
Sayangnya, hidup ini bukan film fantasi. Dan aku orang yang cukup logis untuk tidak percaya dengan sihir, atau hal irasional di film-film yang sering ditonton ibuku.
Aku tidak pernah berkata bahwa aku tak percaya amnesia. Karena dengan sangat menyebalkan, aku mengalaminya. Aku benci amnesia dan aku lebih benci bagaimana caraku mengalaminya. Entah sejak kapan, sepertinya sudah berlangsung sepanjang hidupku. Dokter terapiku bilang ini masalah trauma yang pernah kualami. Namun sebanyak apapun aku mengingat, tak pernah terbesit petunjuk satupun. Dan sekarang aku berusaha untuk tidak peduli lagi.
"Apa Ryan membuatmu kesal semalam?" Claire menginterupsi, masih terfokus dengan storyboard film yang membuat kantung matanya menebal hari ini. Ia melanjutkan, "Atau justru membuatmu berkesan?"
"Ryan?" Aku menatap Claire dengan bingung. Gadis ini harusnya tahu kelemahanku. Aku bahkan butuh waktu berminggu-minggu untuk mengingat wajahnya, dua semester mengingat namanya. Aku sangat membenci otakku yang tak bekerja dengan benar untuk menyimpan memori. Tidur membuatku melupakan hal-hal yang kulakukan sebelumnya. Oh, tentu saja ini membuat semua orang tidak mau bergaul dengan pelupa sepertiku, kecuali Claire.
"Rena, ini sudah lebih dari dua semester. Minimal kau mengingat namanya walaupun jarang bertemu," tanggap Claire. "Ketua klub film paling usil di kampus kita kau tidak ingat?"
"Tidak," jawabku jujur. Terlebih, aku juga bukan anggota klub film. Kini giliran Claire yang menatapku bingung. Kemudian matanya menyipit dan iris hitamnya bergerak seakan menelanjangi tubuhku. Apa aku salah kostum hari ini?
"Mana buku catatanmu!?" jeritnya. "Ah, pantas saja. Ini pasti ulahnya!"
Ucapan Claire mengingatkanku tentang buku catatan kecil yang selalu menggantung di leherku. Catatan itu sangat penting bagiku, karena aku menulis apa yang harus kuingat. Dan aku bisa marah tanpa sebab jika ada yang menyentuh buku catatanku. Sekarang aku tahu mengapa ada yang kurang hari ini.
"Ini nggak bisa dibiarkan," ucap Claire sembari mengetik beberapa tombol di ponselnya.
"Ayolah, Rena. Tidak ada satupun memori yang kau ingat semalam? Kemarin kau yang terakhir bersamanya."
Aku menggeleng, yang di ada di pikiranku saat ini adalah kepanikan sekaligus kemarahan. Sedangkan Claire menghela napas panjang beberapa menit kemudian, "Ia tidak mengangkat panggilanku. Aku kemarin 'kan sudah memperingatkanmu kalau Ryan itu usil, menyebalkan pula!"
"Aku benar-benar tidak mengingat apapun," bantahku. Aku menggoyangkan bahu Claire panik, "Sekarang apa yang harus kulakukan?"
***"Mana Ryan?" tanya Claire, semua anggota klub film menggeleng. Mereka bilang Ryan memang tak berangkat ke kampus hari ini, mungkin karena sakit. Atau mungkin menghindari teror Claire yang terus-terusan menelponnya. Claire memang sangat peduli padaku, walaupun ia tak tahu banyak tentang hidupku di rumah. Oh ya, ia memang tak pernah sekalipun berteduh di rumahku.
"Aku yakin sekali Ryan membawa catatanmu," ujar Claire sembari mematikan nada sambung yang tak pernah terangkat itu. "Oh maafkan aku, anak klub bilang ia pernah bertaruh untuk mencuri catatanmu. Aku pikir itu tidak serius."
"Tak apa, Claire," Aku berusaha menahan emosi yang meluap-luap, dan masih tidak mengerti mengapa bisa semarah ini mengingat catatanku yang hilang. Aku menghirup napas dalam, "Aku hanya ingin catatanku kembali."
Ketika senja sudah sampai ujung waktunya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Awalnya aku ingin pulang dan mencari buku catatanku sendirian. Barangkali buku itu ada di bawah kasurku, atau di kamar mandi. Namun ucapan Claire membuatku menerima tawarannya untuk ikut mencari. Dan sesuai dugaanku, kami tak menemukan buku itu di manapun. Atau dengan kata lain, catatanku mungkin hilang selamanya.
"Ibumu tidak marah kita mengobrak-abrik rumah?" tanya Claire, ia meringis melihat kapal pecah yang terjadi pada rumahku. Aku mengangkat bahu, "Mungkin. Tapi ia tak pernah marah padaku sekarang."
Gadis itu mengelap peluh di dahinya sebelum kembali berkutat dengan ponsel, "Ryan harus bertanggungjawab. Aku bisa menendang bokongnya jika kau mau."Detik berikutnya, kami sama-sama mendengar nada dering ponsel yang asing bagiku. Claire langsung mengerutkan dahinya, aku tidak tahu kenapa wajahnya menjadi sangat pucat. Ia beranjak ke dapur mengikuti suara itu. Suara jeritan Claire menyusul membuat tubuhku terperanjat. Aku tidak tahu apa yang terjadi, sebelum melihat tubuhnya membeku di depan pintu kulkas yang terbuka.
Tubuhku mendadak mendidih melihatnya membaca buku catatanku. Claire gemetar, begitupula suaranya, "Rena, ini..."
Aku dan Ryan pulang bersama malam ini. Aku begitu mencintainya sejak lama, tapi ia menyentuh catatanku! Aku tidak ingin dia tahu aku mengawetkan ibu. Sekarang, ia tersimpan dengan baik bersama ibu di kulkas. Ini menyenangkan!
Claire memekik ketakutan saat aku memberikan senyum terbaikku, "Kau tahu 'kan? Aku tidak suka catatanku disentuh orang lain."
Oh, kini aku teringat sebabnya.
Tamat
Author's Note :
Alhamdulillah, cerpen ini berhasil mendapatkan posisi juara favorit di event Penerbit Ellunar edisi lomba cerpen bertema Amnesia. Terimakasih atas dukungan teman-teman semua!Regards,
Wulan Nurus
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Rena
Short StoryAku benci amnesia. Tidur membuatku lupa apa yang kualami sebelumnya. Jadi aku selalu mengalungkan sebuah buku catatan di leher. Catatan itu sangat penting, karena aku menulis apa yang harus kuingat. Dan aku bisa marah tanpa sebab jika ada yang menye...