BAB 2

288 14 3
                                    

Jakarta, 14 Juli 2014

Awang berdiri termenung di depan pintu gerbang yang masih terkunci. Masih terlalu pagi, ternyata. Baru ia satu-satunya yang hadir di sekolah ini. Sekolah barunya. Hari pertamanya sebagai murid sekolah menengah atas. Ia menoleh ke arah mobil Mercedes Benz C-Class C350 hitam metalik keluaran tahun sebelumnya dan melambaikan tangan. Mamanya nongol dari pintu belakang.

"Oke, Ma. Mama pergi saja!" teriaknya.

"Tapi belum ada siapa-siapa, sayang!" Wulan balas berteriak sambil membuka pintu.

Mati aku! Mama tetap saja memperlakukanku seperti bayi! jerit Awang dalam hati.

"Maaa....jangan bikin aku malu, dong!"

"Tapi 'kan belum ada siapa-siapa, sayang. Siapa tahu kamu salah, kalau-kalau ternyata sekolah baru mulai minggu depan—"

"Ya gak mungkin lah, Ma!" sungut Awang yang bertambah panik karena membaca niat Wulan untuk ikut menunggu sampai pintu gerbang sekolah dibuka, setidaknya ada murid atau guru yang datang menemani Awang. Tepatnya, Awang mendengar niat mamanya itu dengan jelas, seperti diucapkan langsung ke telinganya: Aku harus menunggu sampai pintu gerbang dibuka, setidaknya sampai ada murid atau guru yang datang.

"Kalau Mama di sini aku mogok makan," ancam Awang sambil berpikir, mungkin suatu saat aku akan mati karena malu, bukan karena lapar atau sakit.

Áncamannya itu membuat langkah maju Wulan terhenti satu meter dari Awang. Ah...kalau aku masak pindang patin pasti mogok makannya batal.

"Biarpun Mama masak pindang patin, aku tetap akan mogok makan." Kata-kata Awang menunjukkan bahwa ancamannya tidak main-main.

"Baiklah. Mama nyerah, deh." Keukeuh, mirip pisan papana. Dan meskipun Awang tidak pernah belajar bahasa Sunda, ia mengerti bahwa arti pikiran Wulan yang tak terucapkan tapi dapat didengarnya itu adalah, keras kepala, mirip sekali papanya.

"Baik-baik ya, sayang?" ujar Wulan sambil masuk ke mobil dan kemudian memerintahkan Antara, supir pribadinya, untuk berangkat menuju kantor.

Sebelum mobil itu menghilang di tikungan, Awang masih sempat melihat Mamanya menoleh dan berpikir, Awang jangkung pisan, komo Luigi.

Tiba-tiba Awang dikejutkan oleh suara sapaan dari belakangnya.

"Selamat pagi. Kamu murid baru?"

Awang membalikkan badan. Seorang wanita muda yang kelihatan berusia antara 20 - 24 tahun telah berdiri dan tersenyum manis. Pasti salah satu guru.

"Iya, bu." Katanya tersipu-sipu. Untung mama sudah pergi! Apa kata dunia nanti, anak laki-laki sebesar dia masih diantar mamanya?

"Nama ibu Marlinda dan ibu mengajar Bahasa Indonesia." Wanita itu memperkenalkan diri dan mengulurkan tangannya. Awang menyambut tangan Marlinda dan sejenak ia merasakan getaran aneh yang sepertinya tidak asing lagi.

Kalau saja Wulan masih di situ dan bertemu dengan Marlinda, mungkin ia akan mengerutkan kening sampai berlipat tujuh. Ia pasti akan merasa kenal guru Bahasa Indonesia tersebut, bahkan mungkin akan menghubungkannya dengan sekretaris yang bekerja di kantor Bunyan Worlwide Agency di Bandung dan pramugari di pesawat jet Gulfstream IV yang menerbangkannya dan Luigi dari Cengkareng ke Medan 19 tahun yang lalu. Dalam usianya yang 45 tahun Wulan tetap cantik, tapi beberapa kerutan halus hadir di wajahnya menunjukkan kematangannya sebagai seorang wanita dan seorang ibu. Sementara Marlinda persis seperti sang sekretaris atau pramugari hampir dua dekade yang lalu, seakan-akan kembar yang terlahir 19 tahun kemudian.

Bunian MetropolitanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang