"Kenapa kamu mau kerja disini?"
"Karena seragam laboran biasanya syar'i."
Pewawancara memandanginya sekitar 10 detik. Tanpa rasa bersalah Lita menaikkan bahunya seolah berkata 'begitulah adanya'
***
Aditya pov
Yaampun, lihatlah, gadis berkacamata tebal itu datang lagi. Ini sudah ke 17 kalinya dalam sebulan, setiap setelah makan siang dia selalu datang membawa insiden report ke mejaku. Sisanya, dia baru ditraining hari itu.
Dia selalu berjalan dengan cepat sambil menunduk dan mengusap-usap hidung.
"Apalagi ini ?"
Nama siapa lagi yang akan disebutkannya kali ini.
"Saya juga tidak tahu, Pak. Bu Inge yang menyuruh."
"Kenapa nggak dicari tahu."
"Nggak boleh sama bu Inge. Saya selalu dilihatin dari ruang lab Pak. Kalo saya buka, nanti pasti saya ditegur."
Ck... klise. Aku membuka map yang dibawanya dan membaca laporan kejadian di dalamnya.
"Saya kan sudah bilang, kalo disuruh kaya gini jangan mau! Selain nggak ada di job desc kamu, saya juga nggak bisa langsung tanyain yang terlibat. Kamu ngerti ga sih kalo diomongin?"
Mukanya yang selalu menunduk saat aku bicara langsung menengadah untuk menjawab. Kubanting map itu di meja, plak! Matanya melotot kaget.
"Saya tuh dah bosen marahin kamu tiap habis makan siang. Capek tahu ga? Laper lagi. Kalo kaya gini gimana appraisal kamu mau dapet bagus coba? Kamu tu masih karyawan kontrak harus hati-hati!"
"Maaf ya Pak, saya sangat sadar saya ini karyawan baru, nggak tahu apa-apa, jadi banyak salahnya, banyak takutnya. Saya sudah bilang ke mereka, bapak yang suruh saya nggak mau, tapi mereka nggak mau ngajarin saya kalo saya nggak mau disuruh. Saya kan jadi bingung, disana nyuruh apa disini apa."
"Saya tu karyawan baru Pak, nggak berani ngelawan senior, udah ibu-ibu apalagi gitu. Saya pun capek hati Pak dimarahi terus sama bapak padahal salah saya dimana coba? Bapak kan sudah baca itu IR, mana ada nama saya? Saya cuma disuruh anter Pak, tapi saya yang bantu, saya juga yang kena marah. Saya mikirin appraisal saya itu pasti, tapi apa yang nyuruh saya mikir? Kan enggak. Mereka nggak mau ketemu bapak karena bakal dimarahin. Udah Pak."
Dia mendengus. Antara lelah bicara terlalu panjang atau karena kesal yang ia baru tumpahkan.
Dan sial! Apa aku semenakutkan itu sampai anak buahku tak mau bertemu?
"Mereka bilang apa soal saya?"
Matanya memicing
"Maaf Pak, bukan job desc saya menyampaikan apa yang teman saya sampaikan."
Sial! Berani sekali dia jawab seperti itu.
"Sekali lagi, kamu seperti ini, saya jadikan kamu ob, biar jadi tukang antar barang. Sana pergi!"
Tanpa salam, dia langsung berpaling keluar ruangan. Nampak dari kaca rayban ruangan, dia tidak langsung ke lab, tapi ke toilet. Mungkin dia hanya melakukan prosedur, pembersihan diri sebelum kembali ke ruang kerja.
Aku kembali melihat IR yang baru kuterima dan kubandingkan dengan IR lain yang sudah kuterima sebelumnya dalam bulan ini.
Aku merasa namanya yang paling banyak terlibat dalam insiden, walau tak jarang namanya tak ada sama sekali, atau terlibat hanya karena lewat, bertanya, atau sedang pergi. Padahal bulan ini rapat bulanan diganti rapat direksi. Dengan IR sebanyak ini, bisa habis aku dicecar dan dipersalahkan.
Aku heran, tidak biasanya mereka suka menyalahlan orang seperti ini. Sindrom senioritas kah?
***
Lita pov
Aduh mati aku! Map hijau kembali bertengger di meja. Lama-lama aku bisa phobia map hijau kalau begini caranya. Kalau ini isinya IR lagi, habislah aku bakal jadi ob bulan depan. Ah, aku pura-pura ga liat ah.
"Litaaa..."
Oh no! Demi apa lo mbak Ratri manggil namaku sok diseriosain. Huh!
"Kenapa mbak?"
"Tolong ke Pak Aditya bentar yah."
Aku menelan ludah.
"IR lagi nih mbak?"
Mbak Ratri mengangguk santai sambil memperhatikan buretnya. Ĺihatlah mbakkk ekspresi ku... kalau sampai harus aku lagi yang anter ini map, bulan depan aku jadi ob mbak, ob bajunya ga syar'i mbak Ratri.
"Aku nggak mau." Mbak Ratri sontak menghentikan titrasi dan menoleh ke arahku. "Pak Aditya kemarin bilang, kalau aku nggak terlibat tapi aku yang setor IR aku bakal dijadiin ob."
"Ya elaaah gitu aja repot." Tangannya meraih map hijau di meja dan menulis sesuatu di lembar IR itu. "Noh! Ada nama kamu disitu! Anter gih."
Aku syok. Mbak ratri ternyata gitu orangnya.
"Tapi kan aku ga tahu apa-apa mbak soal insiden ini."
"Yang tahu masalahnya tuh bu Inge, sana kamu ijin sama dia. Nama kamu lagian udah ada disitu. Masih aja nggak mau. Kalo kamu nanya aja, harus kita jawab.diminta ke pak aditya bentar ga mau."
Blam!
Aku merasa senasib dengan map hijau ini. Ga tahu apa-apa dibanting sana-sini. Tadi di lab mbak Ratri yang banting, di toilet aku yang banting, dan sekarang di depanku, sekali lagi map itu dibanting oleh pak Aditya.
Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, tak mendengar sama sekali apa yang dikatakan pak Aditya. Kenyataan aku akan dijadikan ob sangat mengerikan buatku. Jauh-jauh aku merantau dari kampung halaman dan kedua orang tuaku, aku hanya dijadikan ob dalam sebulan.
Oow, kenapa tumpukan map hijau ini diberikan padaku?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendadak Married!!
General FictionLita harus menikahi atasannya yang terkenal galak. Tak ada rasa cinta dari keduanya. Keadaan yang menyatukan mereka.