DREI

157 32 26
                                    

You don't love a woman because she is beautiful, but she is beautiful because you love her.
~ Anonymous ~
•••

( Bandara Schiphol Amsterdam )

Dave bilang, setiap pertemuan akan ada perpisahan, tetapi takdir akan kembali mempertemukan perpisahan dengan pertemuan.

Aku setuju.

Begitu pula antara aku dan Dave. Kami dipertemukan untuk pertemuan pertama dahulu, namun aku dan Dave dihadapi sebuah perpisahan. Tapi kini, takdir mempertemukan kami kembali. Sungguh masih tak bisa kupercayai pertemuan kembali ini. Namun aku harap, pertemuan kali ini tak akan ada perpisahan lagi.

Tapi apakah pertemuan kali ini sebagai pertanda bahwa aku dan Dave ditakdirkan untuk selalu bersama? Ah, aku terlalu berharap.

Hanyalah harapan kosong.

" Jadi ..." Dave menggantungkan kalimatnya.

Aku menoleh ke arahnya, menunggu lanjutan kata-katanya.

"Kita mau lunch dimana?" Ia menyelesaikan kalimatnya, menatap sendu wajahku.

Aku menghela nafas pelan. Menyamai langkah kaki Dave, mengitari Bandara Schiphol Amsterdam. Kukira Dave akan bertanya 'Apa yang kau pikirkan?'. Apa yang harus ku jawab jika Dave bertanya seperti itu. Untunglah.

"Terserah saja, aku tak tahu banyak tempat disini." Aku menyahut disampingnya. Ini kali pertama aku mendaratkan kaki di Bandara Schiphol Amsterdam dan aku tak tahu apa-apa mengenai tempat ini.

"Aku akan membawamu ke suatu tempat, " Lagi-lagi Dave menunjukkan senyum manisnya. Tapi kali ini beda, dia juga merangkul pundakku.Tiada jarak diantara kami. Oh, Tuhan!

"Aku yakin, kau pasti suka." Dave meyakinkanku.

Aku menyeringai, lalu tersenyum diam-diam. Kebahagiaan. Itulah yang kurasakan, dengan dia disampingku.

Ya. Sejatinya, kebahagiaan itu cukup menghargai waktu kita bersama orang yang kita cintai.

***

"Bagaimana? Kau suka?" Dave telah menyelesaikan makanannya. Menatapku, menunggu jawaban yang keluar dari mulutku.

Aku mengangguk. "Ini makanan favoritku sejak kecil. Bagaimana kau bisa tahu aku sangat menyukai Stroopwafel ini?" Aku balas menatapnya penasaran.

Dave menyeringai, "Geheimnis . Sie müssen nicht wissen,"

Aku mendesah. "Iya deh yang udah lancar bahasa Jermannya. Aku masih belum lancar berbahasa Jerman. Kalau kata per kata sih, aku masih bisa."

Dave tersenyum simpul. "Aku akan selalu siap membantu mengajarimu berbahasa Jerman hingga lancar, Seine." Ujar Dave.

"Thanks, Dave. Tapi beneran,ya,"

"Oh ya, Seine, kalau di Berlin, sekarang lagi musim panas. Semoga kita nanti bisa menikmati summer time disana," Ucap Dave. Dave meneguk Orange Fruit Smoothie nya.

"Benarkah? Wah, pasti seru summer time di Berlin." Aku menyahut.

Dave mengangguk kepadaku.

Aku menatap ke sekitar Bowery Restaurant. Indah sekali. Restoran ini merupakan nomor sembilan belas dari 1001 daftar tempat yang aku impikan.

"Sudah selesai?"

Aku tersenyum mengangguk. Oh, Tuhan! Bahagianya aku. Menikmati Stroopwafel bersama Dave, seseorang yang ku harap akan menjadi takdirku.

"Ayo kita bergegas, Seine. Waktu transit tinggal satu jam lagi. Aku akan mengajakmu mengunjungi Rijkmuseum, museum yang terdapat di bandara ini. Kau mau?"

Aku mengangguk. Berdiri mengikuti Dave menuju Rijkmuseum. Menatap punggung Dave dari kejauhan. Segera kucepatkan langkah kaki.

***

Aku memandang beberapa foto aku dan Dave saat di Rijkmuseum tadi. Dave mengabadikan berbagai foto kami dengan kamera polaroid yang dibawanya. Dan aku meminta beberapa foto untuk ku simpan sebagai kenangan. Mana tahu Dave memang bukan masa depanku, dan foto ini akan menjadi kenanganku saat bersamanya.

"Duh, pikiranku mulai ngawur. Ingat Seyna, tujuan kamu datang ke Berlin untuk mengejar cita-cita, bukan untuk mengharapkan Dave." Aku membatin. Mengetukkan jari di dahi.

Aku menatap Dave yang tertidur di sampingku. Sirat kelelahan tampak jelas di wajahnya setelah beberapa jam menemaniku mengelilingi Bandara Schiphol Amsterdam.

"Dank (terima kasih), Dave." Ucapku pelan.

Aku mengalihkan pandangan, menatap pulau-pulau yang terlihat kecil dari balik jendela pesawat.

***

~ TBC~

Chapter kali ini lebih singkat. Jangan lupa, vomment nya ditunggu yaa..
Chapter selanjutnya menggunakan Dave side atau Dave POV. Remember! Jangan lupa tinggalkan jejak. Sampai jumpa di next chapter ...

Grüße,
Schriftsteller

Faithful In BerlinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang