Aku, dan Perasaan Sialan Ini.

51 6 1
                                    

I saw him again.

Lagi-lagi dia duduk sendirian disana, bersama earphone yang terpasang di telinganya. iPhonenya selalu ada dalam genggaman, entah apa yang dia lihat.

Punggung bungkuknya saat duduk benar-benar lebar, bahkan kakinya yang duduk terbuka sangat mengagumkan.

Mungkin dia menunggu, tapi entah apa yang dia tunggu.

Mungkin dia mengamati, tapi entah apa yang dia amati.

Mungkin dia melihat ke arahku sambil tersenyum, tapi itu hanya ekspektasi.

Dia selalu fokus pada iPhonenya, seakan-akan seluruh dunia terpaku di benda tipis itu. Namun tiba-tiba, seorang gadis menghampirinya sambil membawa tote bag di pundak kanannya. Entahlah, aku sedikit kecewa saat dia tersenyum senang saat gadis itu datang.

Mungkin ini bodoh, tapi aku menikmatinya.

--

Semua ini bermula saat orientasi siswa.

Aku melihatnya pertama kali saat dia datang mengenakan seragam olahraga berwarna biru yang melekat ditubuhnya yang jangkung. Membawa ransel berwarna hitam, memakan permen karet sambil berjalan seolah-olah bumi adalah miliknya.

Dia si angkuh kurang ajar, Pikirku saat itu. Ingin rasanya mendatanginya sambil berkata bahwa dia tak pantas menaikkan dagu seolah-olah manusia adalah tanah pijakannya, namun aku tahu nyaliku pasti tidak sebesar itu.

Jadi aku diam saja sambil mengamatinya dengan pandangan sinis. Namun, tak disangka saat dia berdiri disebelahku, feromonnya membuatku terpana.

Aku menoleh kearahnya yang dibalas oleh senyuman ramah.

Tidak.

Apa ini.

Apa yang dia lakukan? Apa yang dia pikirkan? Apa yang salah dengan perutku?

Kenapa tiba-tiba rasanya perutku diserang ribuan bulu-bulu? Menggelikan, tetapi menyenangkan.

"Hai," ucapan singkat yang membuat seolah-olah ribuan orang didunia menjadi padang rumput ilalang.

Ucapan singkat yang membuat seolah-olah angin yang berhembus adalah sayap yang bisa membawaku terbang.

"Hai," jawabku menggelikan. Entah bagaimana raut wajahku saat itu, mungkin nyengir, mungkin juga kaget, atau keduanya.

Bodoh.

Dia tersenyum lagi, manis sekali. "Dari SMP mana?" tanyanya sambil membenDimasn letak ranselnya.

"SMP swasta doang sih, kamu?"

"Oh, yang pakai sistem internasional itu ya? Yang ujiannya ikut sistem Cambridge bukan 'sih?" tanyanya antusias. God, how did he know?

"Eung..iya. Kok bisa tahu?" tanyaku balik.

"Adikku disana, hehe. Salam kenal ya," ujarnya sambil menepuk pundakku sebentar.

Tidak. Seharusnya kamu tidak lakukan itu.

Karena sekarang, rasanya pundakku meleleh begitu saja.

Tapi, bukan itu yang seharusnya kupikirkan. Pidato pembimbing orientasi lebih penting.

Mungkin, tidak lebih penting dari dia yang selalu mencuri perhatian kearah iPhonenya. Sampai akhirnya, masing-masing barisan digiring untuk masuk ke kelas masing-masing untuk diberi pengarahan.

Semoga dia bersamaku, batinku saat itu.

Namun, ternyata dia berada dibarisan lainnya yang membuatku tak bisa bersamanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 28, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kabisat BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang