ps. 8 { the fact, i need you }

1K 76 10
                                    

Dua minggu kemudian.

Ahri duduk di sebuah ayunan yang sudah berwarna kusam. Masih jelas dalam benak Ahri, bahwa ayunan itu seharusnya masih berwarna cat putih gading. Namun itu mungkin beberapa tahun yang lalu, saat ia dan Daybi masih suka bermain, berebut dan berbagi ayunan ini satu sama lain.

Rasanya waktu berjalan terlalu cepat, semua terasa masih baru kemarin saat Ahri masih bisa bercanda gurau dengan Daybi, persis seperti kakak dan adik pada umumnya. Lalu, ia dan Daybi sekarang bahkan sudah bukan seperti apa-apa lagi. Daybi membencinya, sangat.

Dan Ahri membenci dirinya sendiri karena dirinya adalah penyebab utama selama ini Daybi berubah. Daybi berubah karena Ahri selalu menyulitkan Daybi, karena Ahri selalu merebut kebahagiaan Daybi. Karena Ahri selalu merebut semua perhatian orang yang seharusnya juga tersalurkan pada Daybi.

Semuanya salah Ahri. Memang salahnya.

"Ahri, disini kau rupanya."

Jiyong melangkah mendekat ke arah Ahri yang sama sekali tidak berniat untuk membalas sapaannya.

Setidaknya sudah dua minggu belakangan, Ahri yang ia temui adalah Ahri yang pendiam dan hampa seperti ini, bukan sosok Ahri yang polos dan selalu bisa membuatnya tersenyum. Jiyong tahu, melihat kondisi Ahri yang seperti ini hanya akan menyayat hatinya lebih dalam lagi. Namun Ahri membutuhkan seseorang untuk menyembuhkan luka hati dan traumanya, dan Jiyong adalah orang pertama yang menawarkan dirinya.

Jiyong berjongkok tepat di hadapan Ahri, menatap kedua mata Ahri yang menatapnya dengan pandangan kosong. Jiyong menyunggingkan senyumnya, setidaknya walau ia hancur di dalam tapi tidak di depan gadis yang ia cinta.

Tidak di depan Ahri.

"Kau tahu? Kau ini menyebalkan, tidak masuk dua minggu lebih di kampus. Dosen semua mencarimu, tugas memumpuk, aku kan yang repot melakukan semuanya! Mulai dari izin ke dosen, mengerjakan tugasmu, padahal biasanya tugasku saja dibantu olehmu." Gerutu Jiyong kesal, berharap Ahri mau membalas perkataannya barang hanya sepatah kata.

Namun masih nihil. Ahri tidak bergeming. Bukan Jiyong namanya, kalau cepat menyerah.

"Oh, ya. Aku tadi minta izin dokter untuk mengajakmu jalan-jalan ke luar. Kau mau, kan?" Tanya Jiyong sambil menggenggam kedua tangan Ahri erat yang berada diatas kedua pahanya.

Ahri tersentak, lalu menatap mata Jiyong. Seakan mencari kesungguhan disana dan untuk waktu yang lama mereka terdiam.

"Kau tidak percaya denganku?" Tanya Jiyong sambil menelan ludahnya pahit.

Trauma Ahri, apakah membuat Ahri takut untuk percaya pada laki-laki?

Saat itu Jiyong merasakan pegangan Ahri dalam genggamannya mengerat. Jiyong dapat melihat kalau Ahri mengangguk kecil.

Mau tak mau, Jiyong bisa tersenyum lega.

'Percayalah, Ahri. Masih ada aku disini. Biarkan aku mengeringkan semua lukamu itu.'

⚫⚫⚫⚫

S

eunghyun menghisap rokok itu dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Sudah hampir dua bungkus rokok yang ia habiskan dalam waktu kurang dari setengah hari. Seunghyun memang tipe pria perokok berat, tapi belakangan ia berusaha menguranginya. Namun melihat keadaan hatinya yang sedang memburuk selama beberapa hari belakangan, ia melupakan niatnya itu.

Ia butuh tenang dan pelariannya adalah rokok, selain wanita dan seks tentunya.

Ponselnya berdering untuk yang kesekian kalinya dan untuk yang kesekian kalinya ia berniat untuk tidak mengangkatnya sama sekali. Mungkin itu hanya telepon dari editor yang menagih deadline? Seunghyun tidak perduli, kalau perlu Seunghyun bisa mencari editor yang lain.

PLEASE, STAY [ BIGBANG FF]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang