Backsound: You Belong With Me - Taylor Swift
|||||
Tidak selamanya benci tetaplah benci. Tidak selamanya memunggungi tetap memunggungi. Yang benci bisa menjadi kasih. Yang memunggungi bisa menjadi berhadapan. Waktu berputar. Segalanya bisa berubah. Termasuk, perasaan.
|||||
Warning: 3000+ words.
"HAH? Menghitung periode dan frekuensi bandul, menghitung beda potensial dan besar arus listrik dinamis, mengamati bagian-bagian tumbuhan, persilangan dihibrida, terus mengamati objek menggunakan mikroskop? Ini materi nggak bisa dikurangin?!"
Sani melirik cowok di sampingnya. Diam-diam, dia tersenyum meremehkan. Mendengar keluhan dari cowok itu membuatnya mengejek dalam hati. Lalu setelah mengangkat kepalanya angkuh, Sani menolehkan kepalanya ke arah cowok itu.
"Ribet kenapa? Lo nggak bisa, ya?" ejek Sani, mengeluarkan kata-kata yang bersarang di pikirannya. Bukan hanya tatapan meremehkan, nada bicara Sani juga angkuh terhadap cowok itu.
Cowok itu, Eza, melirik Sani sengit. Namun tak berucap apa-apa. Malas meladeni lebih lanjut, karena dia tahu, kalau dia membalas ejekan cewek itu, adu mulut akan kembali terjadi. Entah untuk ke berapa kalinya. Maka dari itu, Eza memilih tetap diam dan membaca lagi kertas berisikan jadwal ujian praktik kelas sembilan yang tertempel di depannya.
"Makanya, kalau pas pelajaran Bu Arum tuh masuk, jangan bolos mulu!" Bukannya tenang karena Eza tidak membalas ejekannya, Sani malah bertambah semangat membangkitkan kemarahan Eza.
Eza menurunkan posisi kepalanya yang tadinya mendengak. Cowok itu membuang napas keras, lalu menoleh ke arah Sani dengan pandangan tidak suka. "Enggak usah ngegas, bisa nggak?"
"Gue nggak ngegas," Sani mengelak, "lo-nya aja kali, yang baperan." Setelah melontarkan ucapan pedas itu, Sani berlalu dari hadapan Eza. Tidak sempat melihat wajah Eza yang memerah menahan emosi.
Eza tidak tinggal diam. Sebelum langkah Sani menjauh, Eza cepat-cepat menghentikan cewek itu dengan cara menahan pergelangan tangannya. "San!"
Sani menatap Eza waspada. Ia mengira-ngira, apakah Eza berniat beradu mulut dengannya lagi. Kayak biasanya. Mau caper apa gimana sih, nih anak, batin Sani kesal.
"Ajarin gue semua materi ujian praktik IPA," pinta Eza tiba-tiba. Tanpa dapat Sani duga. Sani kira, cowok itu akan membalas perkataan pedasnya dengan ucapan yang sama pedasnya. Eza, trouble maker sekolah, minta diajarin materi ujian praktik IPA sama gue? Kesambet apaan nih orang? Sani bertanya-tanya keheranan dalam hati.
Sani menatapnya, masih dengan pandangan meremehkan. "Lo tobat? Tumben, lo peduli sama urusan nilai."
"Mau gimana pun, ini ujian praktik. Memengaruhi kelulusan," balas Eza kalem. Sama sekali tidak menyiratkan kekesalan akan ucapan Sani yang selalu meremehkannya.
Sani melirik tangan Eza yang mencekalnya. "Lepas," desisnya. Eza menurut.
"Ajarin gue, San, please," pinta Eza. Raut wajahnya tidak memelas. Hanya matanya yang menyiratkan kesungguhan.
Sani tersenyum miring. "Enggak," tandasnya. Kemudian, ia berjalan cepat mendahului Eza.
《》《》《》
Jam kosong. Siapa yang tidak suka saat guru mata pelajaran tidak masuk kelas? Terlebih, jika itu adalah guru mata pelajaran Matematika. Eza salah satunya. Memanfaatkan waktu, Eza pun membuka buku Pendalaman Materi IPA miliknya, yang sudah lama tak tersentuh. Dia membuka halaman yang terdapat materi dalam ujian praktik yang akan datang. Setelah beberapa menit membaca dan berusaha memahami materi, Eza menyerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Four Three
Teen FictionEza dan Sani. Dua sisi berbeda. Memiliki pandangan yang berbeda. Tidak pernah satu arah. Saling memunggungi, dan tak pernah saling menatap satu sama lain. Namun, semua itu berubah hanya karena angka '143' yang terdapat di buku tulis milik Eza. • • •...