Bab 1. Hukuman

196 31 6
                                    


"Apa sih, Rai? Gue tau! Gue buat kasus hari ini, gue malakkin adek kelas. Gue tau, lo tinggal tulis nama gue di buku sialan kebanggaan lo itu, ngga usah ngikutin gue terus!" gertak Zea yang kesal karna Rai terus saja mengikutinya dari belakang.

"Lo lupa? Kasus keberapa itu di hari ini?" tanya Rai dengan santai-nya.

"Yang jelas ngga keitung, kasus gue banyak dan gue sadar akan itu."

"Bagus. Ikut gue ke BK." ucap Rai.

Baru saja Zea hendak menjawab ucapan Rai, namun keinginannya harus dibatalkan karna Rai sudah menarik tangannya dan membawanya ke depan ruang BK.

"Plis, gue tau kasus gue banyak. Tapi jangan bawa gue ketemu Bu Dewi. Hukuman yang lain aja deh,Rai!" ucap Zea memelas.

"Ck, baru tau gue kalo bad girl kayak lo bisa takut sama Bu Dewi yang kalem."

"Kalem palelu somplak! Garang kayak gitu juga. Tapi ini bukan karna gue takut sama Bu Dewi kok, tapi bener deh,aduh... Gue tuh males dapet surat peringatan! Gue males ngobrol sama bokap gue!"

"Tadinya sih gue mau kasih lo keringanan di hari ini, tapi... Kasus lo udah lebih dari tiga dalam satu hari," ucap Rai, "Jadi, batal keringanannya, lo harus tetep ketemu Bu Dewi!" lanjut Rai.

"Plis, Rai. Gue... Yaampun." ucap Zea frustasi.

Sebenarnya ia tak masalah dengan surat peringatan ataupun ceramahan Bu Dewi yang panjang seperti gerbong kereta dan lebar seperti perutnya Pak Beno, namun jika ia dapat surat peringatan, otomatis ia harus memberikannya kepada ayahnya, ayah yang sangat Zea benci.

Menurut Zea, Reno tak layak dipanggil dengan sebutan ayah. Ayah nya yang lah yang menjadi penyebab utama ibunya bunuh diri, intinya Zea sangat membenci Reno.

"Oke, karna wajah memelas lo yang jelek itu, gue kasih keringanan hari ini. Ikut gue!" ujar Rai.

Tidak sampai semenit, mereka sampai di sebuah ruangan yang dapat dikatakan cukup kotor. Debu-debu dimana-mana, sampah berserakan, bahkan tak jarang ditemukan serangga-serangga di ruangan ini.

"Ishh...." Zea bergidik ngeri melihat pemandangan ruangan ini.

"Ini ruangan musik dulunya, tapi karna ada ruangan baru, ruangan ini ngga terpakai dari pertama kita masuk SMA ini. Lo pasti tau, kan?"

"Ya-ya gue tau, terus apa tujuan lo bawa gue kesini?" tanya Zea dengan nada malas.

"Apalagi." jawab Rai singkat, lalu mengeluarkan iPhone dari saku celana sekolahnya.

Zea mengkerutkan alisnya, membuat kerutan di dahinya terlihat walau tidak begitu jelas, "Apalagi apaan, sih? Ck, to the point, please!" ucap Zea sebal.

"Bersihin ruangan ini, gue liatin dari luar. Jam istirahat selesai, bersih ngga bersih tugas lo kelar." ucap Rai lagi-lagi dengan santainya.

Zea mendenguskan napas beratnya, "Demi ngga ngomong sama bokap aja, hukuman gue segini beratnya." lirih Zea.

Mau tidak mau, suka tidak suka Zea pun memulai melaksanakan hukumannya dengan berat hati.

'Gue capek bersihin ruangan ini , dan Rai enak-enakan main coc sambil nyender di pintu!? Gue kerjain juga lo Rai!' batin Zea.

Zea mulai berpikir merangkai rencana untuk mengerjai Rai yang sedang asik nge-games dan sesekali mengomentari kerja Zea yang tidak becus.

"Gilaaaa!" teriak Zea.

Dengan sigap Rai menoleh ke arah Zea, mau tidak mau karna dia bertanggung jawab atas hukuman Zea. Takut-takut bila gadis itu terpeleset karna lantai licin bekas pel-annya sendiri, atau lebih parahnya zea tertiban meja-meja besar yang berada di ruangan itu.

"Kenapa lo?" tanya Rai.

"Rai... Itu disitu, ada kecoa!" pekik Zea.

"Dimana?" tanya Rai.

"Di-di... Didalem ember bekas pellan itu, Rai! Cepet ambil terus buang!" jerit Zea.

"Iya,bentar. Ngga usah teriak, ntar dikiranya gue ngapa-ngapain elo." ujar Rai sarkastik.

'Mampus lo! Kepeleset-kepeleset deh lo,Rai!' batin Zea.

Zea tersenyum puas menunggu hasil rencananya. Ia menghitung mundur dalam hatinya hingga hitungan ke satu, berhasil! Ia melompat kegirangan.

"Sialan, lo!" Geram Raikan.

Ia menatap tajam Zea, yang ditatap justru berteriak kegirangan, membuat Raikan semakin kesal. Belum lagi, ponselnya yang terjatuh mengenaskan seperti dirinya yang ikut terpeleset.

"Hehe... sorry Raikan." Ucal Zea sembari memberikan senyuman lebarnya.

"Aduh, pipi gue sakit, Rai. Ngga kuat nahan tawa. Gue ketawa, ya?"

Tanpa menunggu jawaban langsung dari Raikan, tawa Zea sudah pecah. Raikan yang geram memungut ponselnya lalu berdiri dihadapan Zea dengan wajah kesalnya.

Mampus! Mukanya udah serem gitu, siaga satu! . Batin Zea bergumam.

Kring.. Kringg...

'Akhirnya penderitaan gue selesai! Bai Raikan, kali ini gue selamat dari terkaman lo.' batin Zea bersorak.

Zea tersenyum puas saat mendengar bel istirahat yang telah usai, walaupun ia sedikit kecewa karna tidak jadi makan siang, dan ditambah perutnya yang sudah keroncongan sehabis mengerjakan hukumannya. Mau tidak mau dia harus menahan rasa laparnya sampai bel pulang sekolah terdengar di seantero sekolah ini.

***

1) Ini bab satu bagian gue aka Dnsgan_ yang ketik. Segala kekurangan mohon dimaklumi. Kalo bisa, sebelum baca/sesudah tinggalkan votenya. Ngga maksa kok, cuma minta/plak/.

2) Ada bagian dari cerita ini yang aku ubah. Sebelumnya ngga kaya gini, kan? Ehe(: aku rasa yang kemarin rada gaje, jadi aku ubah.

3) Kritik sarannya kutunggu ya. Aku butuh itu lhoo... btw, bab selanjutnya bagian lala --> lailatuliz.

Love Is BlindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang