Kupersembahkan sebuah cerita sederhana, untukmu yang di luar sana.
***
Namanya Pamela. Kau bisa memanggilnya sesukamu, namun ia akan lebih suka jika kau memanggilnya Pam.
Yeah, sebenarnya aku tak begitu peduli dengannya. Maksudku, apa yang dapat dipedulikan dari seorang perempuan yang anti-sosial dan begitu gendut? Percaya atau tidak, bahkan jika berat dari tiga orang ditambahkan, maka jumlahnya tidak akan sebanding dengan berat Pam.
Aku ingat ketika dulu sekolah mengadakan pertunjukan amal, kelas kami membawakan sebuah drama kerajaan. Pam mendapat peran menjadi pelayan gendut yang jelek. Aku harus menahan tawa sekuat tenaga hingga mataku berair karena kostum yang dikenakan Pam begitu norak dan sangat payah. Anak laki-laki mengejeknya mirip seperti ikan paus besar yang mengenakan kostum. Pam tampak ingin menangis, namun ia diam saja hingga gilirannya tampil tiba.
Ketika pertunjukan telah selesai, para pemeran berkumpul di panggung. Aku yang berperan menjadi prajurit berbaju besi, melambaikan tangan riang pada Ibu dan Ayah. Di sebelah kanan Aileen, dapat kulihat Pam sedang melambaikan tangan pada keluarganya. Astaga, bahkan keluarganya seperti sekumpulan raksasa yang dirias setolol mungkin.
Aku tertawa dalam hati.
Namanya Pamela. Kau bisa memanggilnya sesukamu, namun ia akan lebih suka jika kau memanggilnya Pam.
Dia sama sekali tidak menarik dan selalu dijauhi teman-teman di sekitarnya, termasuk aku, tentu saja. Setiap istirahat ia akan duduk di bangku taman sambil mengunyah roti isi tuna berukuran besar. Lalu ketika jam istirahat hampir habis, ia akan kembali dengan baju berlumuran telur atau tepung. Di belakang punggungnya ada beberapa anak yang sedang tersenyum lebar.
Begitu terus setiap hari. Tidak pernah ada yang melaporkan pada guru-guru. Termasuk aku yang cenderung tak peduli dengan apa yang terjadi, karena itulah yang juga dilakukan anak-anak sekelas ketika terjadi hal-hal seperti itu. Semua sudah tahu jelas aturan mainnya: 1) Diam dan tutup mulut, maka kau selamat. 2) Jika kau ingin mengadu, maka lihat peraturan nomor satu. Dengan begitu, kebusukan yang dilakukan para bajingan cilik itu tak pernah tercium hingga guru-guru. Pernah suatu kali ada anak yang mencoba melaporkan hal ini, dan seminggu kemudian anak itu pindah sekolah karena mendapatkan tekanan dari bajingan cilik yang kusebutkan tadi. Persis seperti pecundang besar, kata Mark.
Awalnya, semua merasa risih dengan hal-hal seperti ini, namun semakin lama, kami semakin terbiasa. Dulunya, tangisan Pam terdengar begitu menyedihkan, namun kini berubah menjadi begitu menjijikkan dan sangat mengganggu. Tidak ada yang pernah suka tangisan Pam.
Namanya Pamela. Kau bisa memanggilnya sesukamu, namun ia akan lebih suka jika kau memanggilnya Pam.
Hari itu semua berjalan seperti biasa. Pam seperti biasa pula duduk di bangku taman sendirian sambil mengunyah makanannya. Sesekali, ia menoleh, khawatir jika Mark-bajingan kecil yang aku ceritakan-dan kawan-kawannya tiba-tiba saja muncul lalu memecahkan telur mentah tepat di atas kepalanya. Aku dan teman-teman memperhatikan dari kaca jendela kelas yang menghadap langsung ke arah bangku taman. Mengira-ngira apa yang akan dilakukan Mark hari itu dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan.
Kami terus menunggu hingga bel tanda masuk berbunyi nyaring, Pam telah kembali duduk ke bangkunya beberapa menit yang lalu dengan ekspresi wajah seakan-akan ia baru saja mengeluarkan kotoran yang sangat besar. Mark dan kawan-kawan kembali beberapa saat setelahnya, mereka mengacungkan jari tengah pada Pam, dan memandang Pam seolah-olah perempuan itu baru saja mengambil sebuah kotoran besar dan menunjukkannya ke seluruh kelas. Pam hanya berpura-pura tidak melihat dan terus menulis sesuatu dalam bukunya. Bahkan, orang dengan mental terbelakang pun akan tahu bahwa dia tidak sedang menulis, kataku saat itu kepada Jack, teman sebangku sekaligus sahabatku. Jack hanya tertawa.
Semua berjalan lancar, hingga Pam mengangkat tangannya untuk izin ke toilet karena ia merasa ada yang aneh dengan pantatnya. Pak Josh mengizinkan dengan muka memerah. Seisi kelas berusaha menahan tawa ketika mendengar alasan Pam. Namun Pam tak kunjung bangkit dari tempat duduknya, ia terlihat kesulitan, dan pantatnya seperti menempel erat pada kursi. Ketika aku mulai merasa ada yang aneh, tiba-tiba terdengar suara sobek yang begitu keras. Aku segera menoleh ke arah sumber suara, lalu tertawa keras, sama seperti yang dilakukan anak lain-Mark yang paling keras suaranya. Pam tampak ingin menangis, ia segera berlari ke luar kelas dengan rok yang berlubang di bagian belakang, memperlihatkan celana dalamnya yang bercorak bunga-bunga. Bahkan kami lupa bahwa Pak Josh masih ada di ruangan yang sama dengan kami.
Ternyata, Mark dan kawan-kawannya mengoleskan lem kayu pada kursi Pam, lalu ketika Pam duduk, lem itu akan menempel kuat pada rok di atasnya. Itu lelucon yang hebat. Bahkan Jack, yang tidak pernah menyuka Mark, memukul bahuku sambil terpingkal. Kelas masih ramai oleh tawa sampai Pak John memukulkan penggaris kayunya pada papan tulis. Membuat tawa anak-anak lenyap seketika.
Pam tidak masuk hingga tiga hari. Di hari ketiga, ia datang dengan ibunya-yang berbadan sebesar paus-yang tampaknya dalam keadaan marah. Bu Rosel, ibu Pam, terlibat percakapan yang terlihat serius dengan Bu Ze, guru kelas kami. Beberapa kali nada suara salah satu dari mereka meninggi. Kami semua menguping dari balik pintu, hingga akhirnya Mark dipanggil ke dalam bersama kawan-kawannya dengan wajah seolah-olah akan melahap kami semua dalam satu suapan.
Namanya Pamela. Kau bisa memanggilnya sesukamu, namun ia akan lebih suka jika kau memanggilnya Pam.
Sejak hari itu, Mark dan kawan-kawannya semakin membabi-buta. Semakin banyak telur yang dipecahkan, tepung yang ditumpahkan. Bahkan terkadang, Mark memukul Pam dengan tongkat bisbol di depan kami semua. Tidak ada yang berani mencoba untuk menghentikan perbuatannya, termasuk aku, tentu saja. Kami semua tak tahu harus berbuat apa, melaporkan pada guru sama saja dengan bunuh diri. Yang kami lakukan hanya diam, melihat, menelan ludah dengan jeri, berusaha tidak mendengar jeritan tangis Pam. Tidak ada pilihan lain.
Semakin hari, lebam biru di tubuh Pam semakin banyak, di tempat-tempat tertutup, tentu saja. Dan itu semua merupakan bayaran karena tubuh berlemak Pam. Setiap hari, Pam memakai jaket untuk menutupi lebamnya, kami semua tahu itu karena Mark sendiri yang menyuruhnya dengan suara keras. Pernah sekali Jack mencoba membantu Pam membersihkan telur yang melumuri badan Pam, namun yang terjadi adalah tiga telur mentah yang dilemparkan tepat ke kepalanya.
Perlahan, kelas mulai terasa menyeramkan.
Namanya Pamela. Kau bisa memanggilnya sesukamu, namun ia akan lebih suka jika kau memanggilnya Pam.
Sudah tiga bulan kejadian mengerikan itu berlalu. Kini Mark telah benar-benar berhenti menyiksa Pam, begitu juga teman-temannya. Pam mulai membaik, memar-memarnya menghilang secara perlahan. Semuanya kembali berjalan dengan normal.
Namun Mark tidak akan pernah bisa meminta maaf atas perbuatannya dulu pada Pam. Karena tepat 93 hari sebelum hari ini, Pam ditemukan tergeletak kaku di lantai kamarnya dengan tangan yang tampak sehabis disayat sesuatu.[]
***
a.n.
kritik dan sarannya ditunggu^^~
KAMU SEDANG MEMBACA
A Girl Who Called Pam
Short StoryNamanya Pamela. Kau bisa memanggilnya sesukamu, namun ia akan lebih suka jika kau memanggilnya Pam. A Girl Who Called Pam by adhade