Bab 2. Ayah....

114 27 11
                                    


Hari ini Reno sengaja menunggu kepulangan anak semata wayangnya di depan sekolah.

Tidak lebih dari sepuluh menit, Zea sudah nampak di depan pintu gerbang sekolah. Melihat anaknya sudah keluar, Reno segera menghampiri Zea.

Zea yang sedang berjalan menuju parkiran, terkejut melihat kedatangan ayahnya, namun dengan cepat ia mendatarkan wajahnya.

"Zea, ikut ayah sekarang!" perintah Reno sambil menarik Zea untuk masuk ke mobilnya.

Zea hanya terdiam mengikuti perintah ayahnya, Padahal dalam hatinya dia sangat sebal ketika melihat wajah ayahnya.

Ketika di dalam mobil, tidak ada dari mereka berdua yang berniat untuk mulai mengobrol, bahkan untul say-hai sekalipun. Barulah sesampainya di rumah, Reno mulai memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada Zea.

"Ayah selalu dapat surat peringatan untuk datang ke sekolahmu. Kalau itu karena prestasi, ayah akan dengan senang hati datang menghadap gurumu. Tapi kalau itu karena sikap burukmu, ayah malu, Ze. Ayah malu." cerocos Reno di depan Zea.

Zea hanya menganggukkan kepalanya tanpa rasa bersalah. Dia sedang malas menyahuti perkataan ayahnya.

"Jawab, Zea." ucap Reno dengan nada tinggi.

Zea masih membungkam mulutnya. Dia benar-benar sebal mendengar ucapan ayahnya.

Reno menghela napas kesal. Wajahnya sudah mulai berwarna merah padam.

"Zea, kamu itu sering bolos, telat berangkat sekolah, merokok, berani sama guru, dan yang paling ayah nggak suka adalah karena kamu nggak pernah sekalipun membanggakan ay--" Ucapan Reno diputus oleh Zea.

"Membanggakan ayah? What do you mean? Membanggakan seorang pembunuh, ya?" ujar Zea dengan nada sinis.

"Zea! Kamu sudah berani menjawab nasihat ayah, ya?! Kurang ajar kamu!"

Zea mengekeh pelan. Tangan Reno sudah sangat gatal ingin menghajar anaknya.

"Maaf, bukannya tadi Anda menyuruh saya menjawab perkataan Anda?" tanya Zea.

"Saya ini ayahmu, Zea, Ayahmu!" ketus Reno.

Reno hendak melanjutkan perkataannya, tetapi seseorang meneleponnya.

Setelah lima menit bercakap-cakap di telepon, kini Reno kembali fokus ke Zea lagi.

"Zea, jangan ulangi perbuatan burukmu di sekolah, ya." pesan Reno.

Zea hanya menganggukkan kepalanya tanpa mendengarkan perkataan ayahnya.

"Kalau ngobrolnya sudah selesai, bolehkah saya pamit pulang?" tanya Zea malas.

Reno menggelengkan kepalanya dengan cepat. Kemudian di meraih tangan anaknya.

"Zea, ayah minta kamu untuk tinggal di rumah ini, ya? Biar ada yang jagain kamu." ujar Reno.

"Iya, tapi saya mau ambil barang-barang dulu di apartemen, Permisi." pamit Zea.

Reno langsung menyambar kunci mobilnya dan mengikuti perginya Zea.

"Maaf, saya bisa pulang sendiri. Lagipula Anda kan pasti harus balik ke kantor." ucap Zea seolah dirinya tahu kalau Reno bakalan mengantarnya ke apartemen.

"Yaudah, ayah ke kantor dulu. Kamu harus sudah ada di rumah ketika ayah pulang nanti." ujar Reno sambil masuk ke dalam mobil.

"Gue jago banget akting bohongnya, ya." gumam Zea dalam hati.

Kemudian Reno pergi ke kantornya dan meninggalkan anaknya yang sedang berdiri di depan rumah.

Zea memandang sebuah rumah penuh kenangan itu. Ya, itu adalah rumah keluarga kecilnya. Dulu ayahnya selalu pulang tepat waktu dan bundanya selalu memasak masakan spesial untuk semua anggota keluarganya. Tapi semenjak bundanya Zea bekerja, keluarga itu menjadi risuh.

Love Is BlindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang