Bagian 1

1.7K 53 5
                                    

Setelah menara Eiffel Paris, setelah Taj Mahal India, yang indah di dunia ini adalah kenangan..

Entah itu masa dimana ada kebahagiaan atau kepahitan, tapi sungguh semua itu akan terasa indah saat kita mengingatnya.

Tapi bagaimana jika kenangan itu tidak ada?

Bagaimana aku bisa tersenyum mengingat siklus waktu yang bagiku tidak melibatkanku di dalamnya?

Waktu dan dunia yang serentak menjawab ada, tapi hatiku bilang tidak ada.

Aku melewati lorong-lorong sekolah, melangkah sendirian membiarkan pajangan-pajangan di majalah dinding itu memberikan penghormatan karena aku datang paling awal. Lantai keramik ini terlihat kedinginan. Siswa-siswa yang lain belum datang untuk menginjaknya dan membuatnya hangat.

Kebiasaan baikku, datang paling awal. Agar bus yang ku tumpangi tidak penuh dan jejal. Agar menghindari jalanan yang macet. Walau alasanku yang sebenarnya bukan itu. Aku sengaja selalu datang lebih awal agar menghindari orang-orang. Maksudku, kakak-kakak senior dimana aku harus melewati kelas-kelas mereka untuk menuju kelasku yang berada di ujung sana.
tah mengapa di sekolah ini, siswa-siswa perempuan kebanyakan berasal dari kaum sosialita. Mereka hanya memandang seseorang dari penampilan, menebak harga, dan merek yang digunakan orang lain. Jikalau itu murah, maka akan mendapat pandangan-pandangan yang merendahkan.

Sebenarnya aku tidak suka dengan keadaan seperti itu. Aku cukup menutup mata dan menyimpan rasa empatiku jauh di dalam sana, di dalam sanubariku. Aku tak dapat membayangkan kemarahan Tuhan saat mengetahui makhluk ciptaannya yang menilai dunia hanya dari harga. Kemarahan Tuhan akan manusia yang tidak sesuai dengan ajaran dari hati nurani.

*****

Bel istirahat berbunyi, aku tak akan keluar kelas, aku sengaja membawa roti bakar yang diolesi dengan peanut butter kesukaanku. Berada dalam ranselku, ransel coklat pemberian ayahku sebagai kado ulang tahun beberapa bulan yang lalu, disana kotak makananku terselip di antara beberapa buku tulis dan buku mata pelajaran hari ini. Ia seakan menjadi sesuatu yang asing dari sekian buku-bukuku, benda yang bukan terbuat dari kertas dan bukan alat sekolah.

Kotak makananku, penyelamat fungsi tubuhku pada bagian pencernaan di jam istirahat.
Ada yang bergaung di dekat telingaku, suara yang sudah ke sekian kalinya ku dengar, begitu jelas hingga menyamarkan suara-suara pembicaraan teman sekelasku ataupun tawa mereka. Aku mencoba menutup telingaku dengan kedua telapak tangan, tidak mempan, suaranya terlalu jelas, bahkan lebih jelas dari biasanya.

"Naumi..." Dia menepuk pundakku, teman akrabku sejak semester 1 kemarin, Clara. Teman mungilku, tinggi badannya 6 sentimeter di bawahku, rambutnya keriting gantung hasil olahan salon, Clara adalah anak blasteran, mamanya berkebangsaan Jerman, papanya asli dari etnis Indonesia.

Aku beruntung bertemu dengannya di kelas ini, sebelumnya aku tak punya teman akrab, aku lebih senang menyendiri, tetapi Clara mampu membuatku berteman. Clara berbeda dari teman-temanku yang lain, dia menyenangkan, pembicaraan kami tidak membahas merek atau harga, meskipun dia berasal dari golongan orang kaya.

Aku tersontak kaget saat ia memanggil namaku. "Kau terlihat kebingungan, ada apa?" Rupanya Clara memperhatikanku dari tadi.

Aku tipe orang yang tidak berbagi masalah dengan orang lain. Namun masalah ini sudah beberapa kali menimpaku. Clara sahabatku yang terdekat, mungkin kali ini aku bisa berbagi sesuatu.
"Apakah kau mendengar sesuatu barusan?" Akhirnya aku menemukan pertanyaan untuk memulai pembicaraan.

"Suara sorakan dari lapangan basket ya?" Clara mencoba menebak jawaban untuk pertanyaanku.

"Tidak, tapi suara gaungan yang menggema, entah itu bersumber darimana, namun begitu jelas terdengar.." Aku mencoba menjelaskan karakteristik suara yang selalu menggangguku itu.

Indigo love storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang