Tiap detik yang terlewati, terhitung hambar. Tiap roti yang kugigit, terasa lama.
-~-
"Luna, pulang nanti jangan lupa ambil kotak yang di dalam kulkas ya!"
Aku menoleh meski tanganku masih sibuk menggosok-gosok permukaan meja dengan kain basah. Kulihat Mbak Tara yang sudah menenteng tas berjalan mendekat, siap pulang.
"Iya mbak."
Sosok semampai itu berhenti melangkah, hela napasnya terdengar.
Aku diam saja, seringkali Mbak Tara melakukan kebiasaan itu, mengasihaniku padahal tidak ada yang salah denganku.
"Ini kunci, hati-hati di bis." Katanya sambil meletakkan dua buah kunci yang disatukan besi melingkar di meja yang baru selesai kulap.
Aku tersenyum, "Iya, mbak juga ya! Hati-hati loh, sama Mas Pram."
Dia mengangkat sebelah alisnya yang tanpa digambar pun sudah hitam legam, rapi menaungi sepasang mata cokelatnya.
"Mas Pram siapa, sih? Ngaco kamu."
Aku sengaja memutar bola mataku, "Ngeles deh mbak," lalu aku terkikik sendiri.
Pasalnya, Mbak Tara, pemilik toko--anak dari pemilik toko--roti tempatku bekerja part time ini sedang dekat dengan seorang pelanggan tetap sejak minggu lalu, Mas Pram yang punya senyum hangat itu.
"Apaan ih, nyipta gosip! Udah ya, mbak pulang. Daah Lun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit yang Mendekap Kota Kami
RomansaPotongan cerita cinta dari mereka yang diam-diam saling memeluk