Cerahnya hari membangunkanku dari tidur yang lelap. Aku membuka mataku pada sebuah pemandangan lingkungan perumahanku di balik gorden panjang yang menutupi kaca jendela. Mulutku menguap lebar dan tubuhku terasa lemas. Kedua hal tersebut merupakan gejala yang wajar di pagi hari. Kuarahkan wajahku menghadap cermin. Aku menatap diriku yang berpenampilan tidak karuan. Rambutku serba berantakan dan kusut.
Aku memberikan diriku waktu sejenak untuk bernapas. Tanganku bergerak begitu cepat meraih telepon genggam milikku dan segera memeriksa segala kemungkinan notifikasi yang masuk dari ketiga aplikasi sosial media yang kupakai, yaitu Twitter, Line, dan Instagram. Setelah beberapa lama menggunakan sosial media, mataku membelalak ketika memerhatikan jam di smartphone yang ternyata sudah menunjukkan pukul 07:00 pagi. Sekolahku saja masuk pukul 07:30 pagi. Matilah aku! Hanya ada sedikit waktu bagiku untuk bersiap-siap.
Mama dan papa masih tertidur nyenyak di ranjang mereka. Membangunkan mereka hanya karena untuk mengantarkanku akan membutuhkan waktu lebih lama, apalagi kuperhatikan bahwa mama sehabis terjaga sampai pukul dua pagi. Ia pasti membutuhkan lebih banyak jam tidur. Aku tidak tega menganggunya.
Dengan tenaga serba cepat, kumaksimalkan gerakanku untuk cepat-cepat menyikat gigi, mencuci muka, memakai krim pelembab kulit, memasangkan jam tangan di pergelangan tangan kiri, dan mengisi air putih dari dispenser ke botol minum. Kemudian, kumasukkan semua barang yang kuperlukan seperti binder, perlengkapan tulis, sisir, cermin kecil, dompet, laptop beserta alat pengisi dayanya, dan power bank ke dalam tas. Tak lupa aku memasukkan smartphone ke saku rokku dan juga membawa kerabatnya yakni earphone.
Aku menopang tas di bahu dan berdiri di depan pintu sambil menata rambutku untuk dikuncir. Lalu, aku langsung berangkat ke sekolah dengan berjalan cepat sambil mendengarkan musik. Sayangnya, aku tidak dapat sungguh-sungguh menikmati alunan musik di waktu sempit seperti ini, karena aku harus memaksakan kakiku berlari sekencang mungkin agar dapat tiba ke sekolah tepat waktu. Kuputar lagu berjudul Extraordinary by Lucy Hale selama berlari kencang.
Tetesan keringat memenuhi sekujur tubuhku. Seluruh murid yang masih berada di halaman depan sekolah memerhatikan seragam sekolahku yang cukup basah akan keringat. Pandangan mereka seolah-olah tak dapat lepas dariku.
Sejenak aku menjadi malu, tapi inilah resiko yang harus kuterima akibat bangun kesiangan. Ini bukan kali pertama aku memalukan diri sendiri. Namun meskipun aku terkadang memalukan diri sendiri di depan banyak orang, aku tetap saja akan malu.
'Sial, gue lupa bawa jaket! Gue jadi gak bisa menutupi tubuh gue yang penuh keringat ini!'
Aku bergegas memasuki gedung sekolah. Hampir saja aku menabrak seseorang yang adalah sang mantan kekasihku, Gasphard Hunniton. Begitu kami saling berhadapan muka, aku segera meninggalkannya. Aku sudah tidak mau lagi berinteraksi dengannya.
Jam tanganku menunjukkan pukul 07:27. Aku sangat membutuhkan para sahabatku saat ini, sehingga aku pun berniat menghubungi agar mereka dapat menghampiriku sesegera mungkin di depan lokerku, tapi rupanya, mereka sudah lebih peka daripada yang kuduga, karena mereka sudah berada lebih awal di sana.
"Mers!" panggil Carave dengan suara khasnya yang basah.
Aku langsung menghampiri mereka, "Dear God, thanks!" ucapku sambil menarik napas lega.
"Yeah, but thanks for?" tanya Zoey dalam bingung.
"Thanks that you guys are here! God is good to me!"
"Yes, He is!" seru Zoey.
"Were you just from a church for praying, doing a choir practice, or something?" tanya Evanna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unknowingly Beloved Unbeloveds / UBU (TBS fanfic) [REWRITE]
FanficOld Title: '(Senior) High School Season of This Age (SHSSOTA)' Yes, this is a rewrite and a come-back! Mengisahkan cerita seorang gadis remaja yang duduk di bangku SMA di UK tentang keanehan mimpinya. Apakah itu merupakan sebuah petunjuk atau bukan...