Kebetulan

68 7 2
                                    

Lagi hiatus sebenernya. Tapi tiba-tiba iseng berkhayal di sela-sela ujian. Yaudahlah. Maafin yak (?)

------------------------------------------------------

Aku, dalam Dunia Kasih, hanyalah seorang pengelana tanpa arah walaupun punya tujuan. Tujuanku adalah sesuatu yang bernama Akhir Bahagia. Tapi aku tidak memiliki peta untuk mencari di mana letak sesuatu itu. Bahkan kompas untuk menunjuk mata angin pun aku tak punya. Aku benar-benar tersesat tanpa arah di dunia ini.

Entah sudah berapa lama aku berjalan tak tentu arah dengan hanya berbekal harapan untuk mendapatkan Akhir Bahagia itu. Semula, nyaris aku mendapatkannya, namun seseorang yang menghunuskan pedangnya ke punggungku sehingga aku jatuh dan ia yang justru mendapatkannya. Menyebalkan. Pengkhianat.

"Hei tunggu aku."

Aku menoleh ke sebelah kananku--Yah, walaupun aku tak tau arah mata angin, kanan dan kiri hanyalah asumsi masing-masing insan-- dan melihat makhluk sejenis Nabi Adam tengah berteriak memanggil anak Hawa.

Aku terkekeh sampai menghentikan langkah-tanpa-arah-ku. Lucu sekali mereka bermain kejar-kejaran di dunia ini.

"Hei."

Lelaki itu lagi-lagi memanggil perempuan yang menjadi objek kejarannya. Namun si perempuan hanya menoleh dan tersenyum. Kurasa perempuan itu memang ingin bermain kejar-kejaran atau semacamnya.

Aku tidak bisa menahan tawaku. Akhirnya aku terbahak-bahak menatap dua makhluk tersebut. Maaf, bukan maksudku tertawa di atas penderitaan orang ataupun tertawa menghina, tapi pemandangan di hadapanku membuatku ingin tertawa karena iba. Iba pada lelaki itu.

"Bodoh," ucapku makin merasa iba. Aku merasa iba karena aku tahu betul bagaimana ada di posisinya. Rasanya aku ingin memaki-maki lelaki itu supaya tidak melakukan hal bodoh. Mengejar sesuatu yang bahkan justru pergi menjauh darinya.

Tawaku semakin keras berbanding lurus dengan rasa ibaku yang kian membesar. Bagaimana bisa aku tidak tertawa? Lihat saja bagaimana perempuan itu bermain-main dengan pengejarnya. Aku seperti melihat seorang majikan yang bermain dengan peliharaannya. Ah tapi rasanya hubungan majikan dengan hewannya lebih menyenangkan daripada hubungan lelaki dan perempuan ini. Majikan bermain dengan hewannya sementara perempuan ini memainkan si lelaki. Aku benar-benar sangat iba padanya.

Kubuka sepasang alas kakiku, bermaksud menjadikannya alas duduk. Aku jadi tertarik melihat tontonan itu. Tidak, tidak, aku hanya ingin melihat akhirnya saja. Tidak ada yang melarang, kan?

Aku bisa melihat lelaki itu mulai kelelahan mengejar. Jelas sekali terlihat ia berjalan tertatih-tatih. Ya ampun, ia begitu gigih. Aku merasa iba lagi.

Dan baru saja aku menerka kapan ia akan jatuh, ia sudah ambruk dan berhenti mengejarnya. Ah, game over. Permainannya sudah berakhir ya? Tapi kenapa perempuan itu terlihat masih merasa ia dikejar? Lihat saja langkah ringannya yang bergerak seakan dikejar sesuatu. Ya ampun, keduanya bodoh.

Dengan rasa iba yang sudah tertumpuk, aku menghampirinya. Aku berdiri di depannya setelah beberapa detik kuhabiskan untuk berjalan ke arahnya.

"Ini, minumlah."

Ia menoleh dalam posisi bertelungkupnya. Ia menatapku dengan pandangan yang tak kupahami, kemudian menyambut air dariku, "Terima kasih."

Ibaku kali ini tidak lagi diiringi tawa. Melihatnya seperti itu, aku jadi teringat akan aku yang dulu. Aku juga pernah seperti dia. Berlari-lari mengejar, kelelahan, ambruk, ditikam oleh pedang milik seorang kepercayaanku dan akhirnya aku tewas sesaat. Mirip sekali dengan keadaannya sekarang, hanya saja punggungku terhiasi sehunus pedang.

"Bangunlah," ucapku seraya membantunya merubah posisinya menjadi duduk. Aku melihat banyak luka yang mendekorasinya. Tubuhku jadi merinding mengingat luka itu pasti cukup perih.

Aku memutuskan mengobati lukanya. Bagaimana pun, aku tidak ingin luka-lukanya semakin perih tersapu angin kesendirian seperti aku dahulu. Aku ingin supaya tidak ada orang lain yang merasakan apa yang aku rasakan.

"Kau bodoh atau apa? Lukamu sudah banyak tapi masih bersikeras mengejar wanita itu? Tidakah kau merasa dipermainkan olehnya?" tanpa sadar aku mengomel.

"Aku memang bodoh. Kupikir ia adalah Akhir Bahagia-ku jadi aku berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya," jawabnya dengan raut muka sedih.

"Aku paham."

"Bohong, kau tidak paham."

"..."

"..."

"Ya sudah terserah saja. Ngomong-ngomong ini makanan. Pasti kau lapar."

Ia menerima makanan dariku dan menyantapnya dengan semangat. Aku jadi penasaran apa yang ia lalui sebelum ini sampai-sampai ia begitu kelaparan.

"Selesai," ucapku ketika luka-lukanya berhasil kuobati.

Ia telah menyelesaikan urusan perutnya dan sekarang ia sedang menatapku dengan pandangan meminta penjelasan.

"Kenapa?"

"Kenapa kau menolongku?"

"Aku tidak tega."

"Eh?"

"Aku pernah di posisimu. Aku tahu luka-luka ini begitu perih. Aku juga tidak ingin kau nelangsa seperti aku dahulu, jadi aku ingin menolongmu."

"..."

"..."

"Terima kasih."

"Kembali."

"..."

"Ayo bangun. Kau harus mencari di mana Akhir Bahagia-mu sesungguhnya berada."

Aku membantunya berdiri. Tubuhnya masih agak oleng tapi aku yakin dia akan cepat sembuh karena aku sudah mengobati lukanya.

"Lalu apa yang sesungguhnya menjadi Akhir bahagia-ku?"

"Mana ku tahu. Milikku sendiri pun aku tak tahu."

"..."

"Baiklah aku ingin mencari Akhir Bahagia-ku dulu. Sampai jumpa," pamitku setelah aku memastikan ia sudah berdiri tegak.

"Tunggu!" Baru saja satu langkah maju, ia menghentikanku.

"Ada apa?"

"Kau sedang mencari Akhir Bahagia-mu?"

Aku hanya mengangguk.

"Boleh aku ikut?"

"Kenapa ingin ikut?"

"Mencari teman seperjalanan."

"Baiklah ayo."

Aku membalikan tubuhku dan mulai berjalan ke depan. Aku bisa merasakan ia berjalan mengikutiku dari belakang. Ya ampun, ini sungguh tidak nyaman. Bagaimana aku bisa berjalan santai jika ada yang mengekor di belakangku.

"Hei kau. Sini jalan di sampingku."

Ia tersenyum dan menurut. Dan sekarang ia sudah ada di sampingku. Kami berjalan berdampingan dengan tujuan yang sama dan arah yang tidak jelas.

Namun entah kenapa, bersama dengannya, aku merasa tiap langkahku menjadi lebih pasti. Instingku menguat dan memberi tahu Akhir Bahagia-ku sudah ditemukan letaknya.

"Ada sesuatu yang meyakinkanku bahwa Akhir Bahagia-ku sudah jelas arahnya."

"Aku juga."

Kami sama-sama menoleh dan menatap satu sama lain ketika kami menyadari sesuatu. Aku berhipotesa. Mungkinkah ia adalah kunci atau penunjuk arah Akhir Bahagia-ku? Atau justru mungkin ia yang menjadi Akhir Bahagia-ku? Jadi, Akhir Bahagia-ku itu merupakan benda mati atau benda bernyawa? Kurasa ia memiliki hipotesa yang sama.

"Sepertinya hipotesa kita sama."

"Aku rasa begitu."

"Dunia ini selucu itu."

"Lucu?"

"Iya. Kita bertemu karena kebetulan. Bukan karena kita saling mencari."

KebetulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang