Dapur SteHe 15

45 0 0
                                    

Dari tahun 90-an, saya sudah terdorong untuk menulis buku rohani, namun dorongan itu hanyalah sebuah dorongan saja dan tidak ada realitanya, dan tidak ada buku yang dilaunchingkan.Apa masalahnya?

Banyak sekali masalahnya.

Kalau dirinci, masalahnya bukan tidak ada ide atau konsep, tapi lebih terbentur kepada ngga percaya diri, dan gaya penulisan yang masih mentah.

Tak terasa waktu berlalu, tahun 2008, akhirnya saya melaunchingkan sebuah buku pertama, yang berjudul "Pengabdian Yang Ternoda".Berarti dari tahun 1990 - 2008, sekitar 18 tahun lamanya, dorongan itu muncul hilang, muncul hilang, dan begitulah seterusnya, sampai akhirnya saya menuliskan sebuah buku pertama, yang berjudul asli, "Pengabdian."

Membahas mengenai hambatan dalam menulis itu banyak, dan hal itu sangat lumrah, artinya ngga ada orang yang lahir langsung bisa menulis buku, dan level buku yang diterbitkan itu mendapatkan sambutan dari banyak orang.

Namun pengalaman saya dalam menulis buku itu ternyata seperti belajar naik sepeda.

Saya ingat waktu dulu, masih SD belajar naik sepeda, tegang, belajar keseimbangan yang paling sulit, harus ada orang yang memegangi dari belakang, dan saya mengalami luka-luka bonyok di dengkul dan di siku tangan. Ya, disamping itu luka lecet sana lecet sini juga.

Tetapi, setelah pelajaran "gigi 1" terlewati, akhirnya saya mulai menginjak "gigi 2" dalam belajar naik sepeda, dan lebih mudah lagi ketika memasuki "gigi 3" dan seterusnya.

Setelah saya bisa menaiki sepeda, tinggal banyak latihan dan anehnya saya masih juga jatuh atau menabrak, mungkin karena saya orangnya berangasan, hihihi ... tetapi sudah jauh lebih baik dari pada waktu pertama belajar.

Banyak latihan menulis dan membaca akan membuat hambatan dalam menulis itu menjadi hal yang biasa, dan akhirnya hambatan itu akan melumer dan bukan lagi menjadi masalah yang meraksasa.

Dari pengalaman 8 buku itu, saya mengerti satu hal penting dan utama. Entah bagi orang lain, tetapi bagi saya adalah saya tidak dapat menulis sebuah buku bila saya tidak mendapatkan pewahyuan dari TUHAN tentang kebenaranNya.

Pewahyuan kebenaran dari TUHAN itu merupakan tulang punggung bagi sebuah buku, atau kebanyakan orang menyebutnya nyawa dalam sebuah buku.

Dan pewahyuan untuk sebuah buku tidak sama dengan pewahyuan untuk khotbah. Ada banyak pewahyuan yang saya khotbahkan, namun tidak semua pewahyuan itu bisa dijadikan fondasi dan kontruksi dalam sebuah buku.

Ya! Tiap-tiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan melalui DAPUR SteHe ini, saya terbeban untuk menceritakan banyak hal dalam penulisan buku, terutama yang tentang kegagalan, kesalahan, dan kebonyokan saya.

Harapan saya, mudah-mudahan dengan menulis tentang kegagalan, kesalahan, dan kebonyokan itu memantik banyak orang untuk mulai melatih dalam menulis dan membaca hingga akhirnya bermunculan banyak penulis yang berkualitas dan ngga kalah kualitas tulisannya dengan penulis-penulis luar negeri!***

Dapur SteHeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang