Ia adalah Alice, dan setelah sekian lama, ia baru menyadari satu hal.
Bahwa busur panah lengkap dengan tingkat akuransi yang tinggi adalah hal yang mengerikan.
Knave of Heart dengan belatinya sudah cukup menyeramkan. Gadis berambut platina dengan pita biru di tangan? Ah, jauh lebih mengerikan. Alice kini mengerti mengapa The Duchess memperingatkannya akan laki-laki dan perempuan berpita biru; mereka sama kuatnya.
Gadis itu tidak pernah berpikir sebelumnya, dalam definisi yang tidak sebenarnya. Kepalanya akan mulai sakit ketika ia mencoba mengingat sesuatu tentang dirinya, tidak sesakit ketika ia membuka kertas dari saku Mad Hatter, tidak membakar seperti kalimat March Hare, tidak sepusing kala Chesire Cat menyeringai penuh rahasia. Namun cukup untuk membuat Alice lupa apa yang ia pikirkan sebelumnya. Agak terlambat memang, namun Alice benar-benar baru menyadari bahwa faktanya, ia masuk ke Wonderland tanpa satu pun ingatan.
Dan gadis berambut platina ini membuat Alice sadar bahwa ia tak tahu apa-apa.
Benar-benar tak tahu apa-apa.
Alice berlindung di sofa terdekat ketika sebuah anak panah kembali mengincar kepalanya. Berguling untuk menghindari tombak yang berusaha menusuk lehernya, berdiri dan melompat untuk menahan tendangan yang terarah ke perutnya. Ia bergerak seolah ia sudah tahu cara dan aturan mainnya; dan hal itu membuat gadis itu sendiri terpana.
Tubuhnya bergerak seakan mereka telah menghapalnya di luar kepala. Bukan menyerang, melainkan menghindar. Seolah tubuhnya sudah dilatih untuk mempertahankan nyawanya.
Dan sungguh, Alice bahkan mulai tidak tahu siapa dirinya.
Alice berhenti berlari, sebuah anak panah meluncur beberapa senti dari matanya, menancap ke jendela yang lalu pecah berkeping-keping. Suaranya menggema di tengah denting senjata dan desis angin, membahana di tengah tatapan kosong gadis berambut platina dan tatapan penuh kalkulasi milik White Rabbit, merebut kembali konsentrasi Alice ke dunia nyata.
Ah, namun benar juga.
Bila saja Alice mati di sini, bukankah itu berarti ia tidak akan merebut kembali memorinya?
Alice mendorong pikiran dan beribu pertanyaan tentang dirinya ke belakang kepala, sepasang iris cokelat tua dipenuhi determinasi untuk segera mengakhiri semua ini. Kedua kakinya menjerit kesakitan, dan sesuatu di dalam perutnya serasa seperti hendak melejit naik lalu keluar dari mulutnya. Napasnya sudah menjadi hembusan singkat dan pendek. Waktu Alice hampir habis, tubuhnya tidak akan bertahan lagi, maka gadis itu pun berhenti berlari.
Panah dan busur dengan akuransi yang tepat memang mengerikan, dan Alice berharap gadis ini tidak pernah bekerjasama dengan Knave of Heart dan anak buahnya yang berambut lapis lazuli. Alice dapat merasakan darah mulai menetes dari luka di kakinya, dan gadis itu menunduk untuk menghindari tombak seorang tentara hampir terlambat sepersekian detik.
Kedua kakinya menyerah, Alice lalu berguling ke kiri untuk menghindari sebuah pedang.
Ia mulai kewalahan, dan harapannya untuk diselamatkan hampir setipis sisa napasnya.
Alice menutup matanya, napasnya keluar dalam satu hembusan napas yang berat. Sejenak, sebuah sosok terbayang di bawah kelopak matanya. Seorang pemuda, rambutnya pirang berantakan, irisnya sewarna badai menawan, dan Alice mendadak memiliki perasaan yang kuat bahwa seharusnya sosok itu mengenakan jas hitam dan topi tinggi ala bangsawan. Bukan jas putih asing yang entah bagaimana Alice yakini menguarkan bau antiseptik berlebihan.
"Kau harus bertahan," Alice pernah mendengar suara itu, gadis itu mengenalinya.
Kendati ia tak tahu siapa yang berkata, Alice berbuat demikian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Alice
FantasiaSatu cerita, dua sandiwara, tiga menara; yang mana yang nyata?