Chapter 12 - Confession

5.6K 551 123
                                    

Anna POV

Gelap.

Kami masih berpelukan. Hujan di luar dan petir semakin menjadi-jadi.

"Elz, ada lilin?"

"Iya ada, di kamarku banyak lilin aromaterapi. Tapi jangan tinggalin aku please", Eliza masih terdengar ketakutan.

"Okay, kita ambil bareng yah", aku melepas Eliza sejenak dan merogoh hpku. Aku menyalakan senter hp dan melihat Eliza yang wajahnya pucat karena takut petir. Aku menggandeng tangannya dan pergi bersama ke kamarnya.

Kami berjalan pelan-pelan. Kamar Eliza ada di belakang setelah dapur. Aku membuka pintu dan kami pun masuk. Kamarnya terlihat luas, ada queen size bed plus 2 monitor lcd besar di meja dekatnya. Dia maniak komputer juga rupanya.

Aku mengambil 2 lilin aromaterapi dari sekian banyak lilin di dekat jendela. Pantesan kamarnya wangi banget. Lalu kami keluar, balik lagi ke ruang tamu. Tentu saja aku merasa canggung kalau berada di kamarnya.

Aku menyalakan lilin dan ku taruh di meja depan sofa. Eliza juga sudah rileks sedikit. Mungkin karena efek lilin aromaterapinya. Wajahnya juga tetap terlihat cantik, malah makin syahdu karena efek remang-remang. Duhh!

"Umm, kamu takut petir Elz?", aku bertanya membuka pembicaraan.

"Iya, takut banget, biasanya Olly yang suka menemaniku. Maaf tadi aku refleks memelukmu", dia menunduk malu. Gila, cute banget!

"Gapapa. What should we do now?"

Setelah berpikir sejenak, Eliza berkata, "Tell me about yourself"

"Apa yang kamu pengen tau?"

"Ceritakan tentang keluargamu dulu"

"Umm, aku anak pertama. Ayah asli Indonesia, ibu keturunan Kanada, dan aku mempunyai 1 adik laki-laki berumur 10 tahun, keluargaku terbilang unik, selain itu tidak ada yang menarik", aku menjawab cepat. "How about you?", aku balik bertanya.

"Aku anak tunggal, kedua orangtuaku tinggal di Singapore, ibu dari Indonesia, tapi kakek nenekku orang Australia, aku mewarisi mata kakek dan ayahku", Eliza bercerita tapi terlihat sedih.

"Uhm, kamu tahu, your eyes is beautiful Elz"

"Thank you Anna", Eliza lalu mencoba tersenyum. Mungkin karena dia jauh dari orangtuanya jadi dia sedih.

"Tell me about your friends", dia berkata lagi.

"Sassy and Jen?", aku bertanya memastikan.

"Iya mereka. Kalian terlihat deket banget"

"Hahaha, iya kami dekat. Sassy agak gila dan Jen sangat nerd, aku tengah-tengah mungkin", aku tertawa.

KRINGG.

Hpku berbunyi. Ada telpon masuk. Dari Sassy. Speaking of the devil.

"Halo", aku mengangkatnya.

"Oi bitch, lu dimane? Gue sekarang di rumah loe tau, bosen gue di rumah, Alex lagi ngambek, Ellen sibuk kerja, loe malah pergi ujan-ujan, mana gelap lagi daerah sini, maling ayam kan loe?", dia berkata sepersekian detik.

"Gue di rumah Eliza sekarang songong, kalau mau kesini aja, deket kok, gue chat in alamatnya, budek gue lu telpon, haha, bye", aku menutup telponnya.

Eliza pun tertawa. Aku hanya tersenyum. Suara Sassy pasti terdengar. Suara tuh anak emang mencapai 6 oktaf, melengking. Setara Mariah Kere gitu deh. Malu-maluin sumpah.

Roses and Butterflies (On Editing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang