Punggung Itu

91 0 0
                                    

Langit pernah lebih redup dari pada senja kali ini. Kemana semua cahaya bermuara maka itulah pertanyaan yang tak pernah terjawab olehku atau Bunda. Gelap dan dingin. Aku tak lagi melihat apa-apa selain wajah Bunda. Suara panggilan Ayah menghilang perlahan seolah teredam tembok tebal. Aku tertidur.

Aku masih ingat langit sore itu. Saat Ayah berjalan terus meninggalkan rumah tanpa menoleh sedikit pun. Ia pergi membawa satu koper usang berisi kaos, blus, dan safari miliknya. Ia tak membawa serta aku dan Bunda. Mungkin karena kami berdua bukan miliknya lagi.

Sejujurnya, sore itu, sambil memeluk pinggul Bunda aku terus berdoa agar Ayah menoleh. Melambaikan tangan atau melengkungkan senyum di bawah kumisnya yang setebal artis idola Bunda, Cok Simbara. Namun, Ayah berjalan terus. Tanpa menoleh. Tanpa melengkungkan senyum di bawah kumisnya. Maka dari itu, tak heran, tak lagi kuingat wajahnya kini.

Selama dua tahun aku sering bermimpi. Tentang punggung yang tulangnya tak lagi menafkahi aku dan Bunda. Hanya punggung yang kuingat. Karena tak sempat kulihat wajahnya saat beranjak pergi menjauh dari rumah. Ia hanya berjalan terus. Tanpa menoleh. Tanpa melengkungkan senyum di bawah kumisnya.

Aku masih bingung mengapa Ayah pergi. Aku bingung mengapa sejak sore terakhir kulihat punggung itu seolah pasir waktu menjadi berhenti. Aku dan Bunda tak lagi melakukan apa-apa. Ia tak lagi pergi ke pasar membeli lobster dan kerang kesukaan kami. Ia juga berhenti membuat bumbu kari siap saji yang bisa dicampur dengan berbagai lauk. Sepanjang siang kami hanya berbincang di kamar.

Hanya saat lembayung kami beranjak. Bunda memilih bicara pada gemericik sambil menggerak-gerakan telapaknya di udara. Sedangkan aku hanya memilih bicara pada, kamu, angin. Aku bingung harus bicara pada siapa. Tak ada yang bisa kugapai fisiknya di imajiku. Tak lengkap rasanya berjelaga tanpa paras. Andai saja Ayah menoleh saat itu. Maka tak hanya punggungnya saja yang kuingat. Sayang, ia hanya terus berjalan. Tanpa menoleh. Tanpa melengkungkan senyum dibawah kumisnya.

Aku jenuh. Aku rindu teman-teman sekolah yang biasa mengajakku bermain. Belakangan mereka hanya melintas. Aku benci terlihat akrab dengan dingin dan hening. Bunda harus menjawab!

"Bun, apa yang kamu nikmati dari bicara pada gemericik dan menari bersama hembusan angin?"

Bunda tak menoleh. Aku benci caranya bertutur akhir-akhir ini. Ia gemar terlihat tenang. Bahkan saat masuk dalam tayangan, mungkin penonton akan mengira adegannya dalam mode slow motion.

"Cobalah..." jawabnya singkat. Menyebalkan.

"Kenapa aku tak bisa kembali ke sekolah? Aku rindu kelas Bahasa Indonesia. Ada puisi yang harus kubaca untuk seseorang," meski sebenarnya takut, tetapi aku harus merengek kali ini. Semoga berhasil.

"Sudah kubilang. Tak ada sekolah lagi. Kamu bisa berpuisi dimana saja kamu mau."

"Tak ada kelas maka tak ada yang mendengar."

"Tak ada yang mendengar bukan berarti tak didengarkan. Semesta tak pernah tidur. Betapa ruang kelas tak ada sebutir nasi dibanding megahnya. Bicaralah, Nak. Mereka mendengarkan." Lagi-lagi Bunda bertindak seperti cenayang. Matanya terus terpejam saat bicara. Gerak tangannya semakin halus seperti sutra melambai saat tertiup angin di tali jemuran.

Aku ragu. Mungkin Bunda kerasukan! Atau mungkin ia rusak jiwa? Ya Tuhan, betapa malang nasibku. Ayah pergi tanpa menoleh dan melengkungkan senyum. Kini, Bunda tak lagi waras. Tidakkah surga lebih baik dari semua ini?

Berjam-jam kemudian hanya ada sepi. Seperti riak yang tak pernah ada di permukaan danau saat pagi buta. Bunda masih tak tahu berjelaga kemana. Mungkin ia sedang berada di bawah Eiffel sambil berbaring menghitung bintang dengan Ayah. Ah, sial! Aku tak ingat wajah Ayah. Tak bisa lagi kulanjutkan imaji ini.

Tunggu! Aku mendengar deru yang jarang sekali hadir. Ini bukan deru semesta. Suaranya tak semerdu gesekan daun pohon kelapa. Bukan pula gemerisik pasir yang berguling dari satu sisi pantai ke sisi lain. Bahkan suara monyet liar dan derik jangkrik kawin pun tak sebising ini. Suaranya menderu. Semakin dekat.

"Cepat! Masuk!" Argh, Bunda! Belum selesai tebakku pada bunyi deru yang satu itu. Dengan kasar dan gegas ia menarikku masuk ke dalam rumah. Menerobos ruang tamu dan berhenti di kamar belakang. Ia mematikan semua lampu. Ketenangan yang semula menyelimutinya berubah menjadi nafas menderu satu-satu. Aku menyesal pernah mengutuki ketenangan Bunda. Ternyata gelisah membuatnya terlihat lebih menyebalkan.

Deru itu semakin keras. Bisa kupastikan asal suara itu semakin mendekat ke arah rumah kami. Sebuah cahaya menembus gorden jendela kamar. Lampu mobil. Sebuah mobil berhenti di depan rumah kami. Mungkin pengendara mobil itu tersesat di malam hari dan butuh penginapan untuk semalam. Rumah kami terletak di pinggir pantai yang masih sepi. Deru mati. Sunyi kembali memenuhi malam. Hanya sesekali terdengar bunyi 'bakbukbrakbruk' dari pintu mobil yang tertutup dan barang-barang yang diturunkan dari mobil. Mengapa mereka tak mengetuk pintu? Begitu yakinnya kami berikan bermalam!

Seorang pria, sekitar 45 tahun, membuka pintu dengan kunci yang ia keluarkan dari saku. Bersama istrinya yang terlihat sebaya, dan sepasang putra-putri dengan baju warna terang ia memasuki rumah.

"Mereka dari kota, Bun..." ujarku sambil mengintip dari lubang kunci.

Dengan kasar Bunda menarikku untuk mundur dari pintu. Sekuat tenaga ia memukul daun pintu berkali-kali. Liar sekali. Aku menyesal pernah mengutuki ketenangan Bunda. Ternyata amarah membuatnya terlihat lebih menyebalkan.

"Pergi! Pergi! Pergi!" ia berteriak berkali-kali. Semoga ia tak sungguhan gila.

Aku mundur naik ke kasur. Perlahan kumasukan setengah tubuhku ke dalam selimut tipis usang seperti undur-undur.

"Assalamualaikum..." salam itu terdengar gemetar dari ruang tamu. "Aku mampir sebentar, Dini."

Pria itu tahu nama Bunda. Siapa ia? Ingin rasanya aku mengintip lagi dari lubang kunci, tetapi tubuh Bunda sedang bersandar menutupinya. Aku tak berani memintanya beranjak dari sana. Bunda menangis, kali ini tanpa air mata. Persis seperti tangisan saat Ayah pergi beberapa waktu silam.

Tak ada pilihan. Aku hanya bisa meringkuk di kasur.

Semalam aku tertidur.

Dimana Bunda? Ah, ini tangannya memelukku dari belakang. Ia masih saja menangis.

"Bunda tidak tidur sejak malam?"

Bunda hanya tersenyum. Ia kembali tenang. Kali ini, aku tak mau mengutuki ketenangannya. Biar saja.

"Kemana keluarga yang hadir tadi malam?"

Bunda berbisik sangat pelan. Suaranya serak, mungkin, karena menangis semalaman. "Mereka bermalam di kamar belakang."

"Siapa mereka?"

"Orang asing."

"Mengapa lelaki itu kenal Bunda?"

"Kecuali lelaki itu."

"Siapa dia, Bun?"

"Semesta." Jawaban Bunda tak membuatku bahagia. Bahkan kepalaku semakin ingin pecah dibuatnya.

Siang tak lagi sepi di rumah kami. Keluarga itu membuat sedikit kegaduhan di ruang tamu. Mereka menggeser kursi dan meja, menggelar permadani, dan menyiapkan gelas-gelas berisi rokok mengelilingi setumpuk nasi kotak.

Bunda masih menangis. Tubuhnya meringkuk nyaris membentuk huruf 'o' di atas kasur. Tangisannya perih dan dalam.

"Bunda, di luar ramai..." aku menghampiri Bunda dan berbisik di telinganya. Aku girang sekaligus bingung melihat banyak orang di ruang tamu. Satu persatu hadir dan duduk sampai lingkaran penuh. Kemana keluarga itu? Tak ada.

Itu dia! Pria yang sedang berkeliling membagikan buku itu! Sedang apa mereka? Aku terus mengamati sampai pria itu selesai membagikan buku dan mencari ruang di antara lingkaran tersebut.  Tiba-tiba ia menoleh ke arahku. Bukan, ia menoleh ke ruang kosong yang ada tepat di depanku. Ia berjalan dan duduk memunggungiku.

Punggung itu.

"Semoga ini semua tak terlambat. Semoga doa ini membuat jalannya lebih lapang dan ikhlas." panjat pria itu sambil membuka buku Surat Yasin bersampul sepasang foto. Wajahku dan Bunda.

Tidakkah seharusnya aku di surga?

Punggung ItuWhere stories live. Discover now