BAB 22

2.8K 162 4
                                    

"Ari," tutur seorang wanita berparas keibuan.

"Mama?" balas Ari dengan kening berkerut. "Tumben di rumah," sambungnya dengan nada terkejut, tapi juga sarat celaan.

"Kamu kok begitu sih, Ri? Kita kan udah berhari-hari nggak ketemu. Bukannya peluk Mama, malah ketus begitu."

Sejak hari sang ayah ke rumah, menyatakan kalau beliau mau menceraikan istrinya karena ingin menikah lagi, Ari memang baru kembali bertemu dengan mamanya malam ini. Entah berapa minggu sudah berlalu sejak hari itu. Ari tidak begitu mengingat. Cowok itu bahkan tidak tahu ke mana mamanya pergi. Yang Ari tahu, rumah besarnya sudah kembali kosong, seperti biasanya. Tapi sudahlah, itu semua tidak penting buat Ari. Apa bedanya kalaupun Ari tahu ke mana mamanya pergi? Toh akhirnya akan sama saja. Dia akan tetap sendiri.

"Ari capek, Ma. Mau tidur," jawabnya sambil beranjak menaiki tangga. Jelas Ari cuma mengarang cerita. Alasan untuk sekadar menutupi rasa kecewanya terhadap sang mama. "Pergi nggak bilang, sekalinya pulang minta di sambut!" batin Ari kesal.

"Ari, tunggu dulu," balas mamanya cepat, membuat langkah Ari juga sontak terhenti. Tidak biasanya beliau menahan langkah Ari seperti ini. Kalau Ari sudah berlaku tidak kooperatif, biasanya sang mama cuma akan menggelengkan kepala, lalu merelakan Ari menghilang dari hadapannya.

"Ri... Mama mau bicara sama kamu," ucap wanita itu dengan raut wajah gelisah.

Ari bergeming. Ditatapnya sang mama tanpa minat.

"Ini tentang papa kamu," sambung mama Ari saat dilihatnya Ari diam saja. Matanya meredup, umpama lilin yang hampir padam.

Deg!

Ari membeku. Cowok itu sadar kalau kalimat tadi benar-benar butuh perjuangan untuk diucapkan. Karena sejak ayahnya pergi meninggalkan rumah, Ari tidak pernah mendengar mamanya membicarakan sang ayah sama sekali. Bahkan sampai kemarin ayahnya datang dan menyampaikan keinginannya untuk bercerai sekalipun, mamanya tetap bungkam. Tak ada kata, tidak juga air mata.

Kini, saat dilihatnya luka itu dengan jelas, ingin rasanya Ari berlari lalu memeluk mamanya. Mama yang nampak lelah. Mama dengan tubuh yang terlihat terlalu kecil untuk menanggung beban hidupnya sendiri. Ingin rasanya Ari memeluk sang mama dengan kedua lengan besarnya. Mencium pipinya. Berada di sisinya, agar sang mama sadar kalau beliau tidak sendirian. Agar dia mengerti kalau Ari juga merasakan luka yang sama dengan luka yang menikam jantungnya.

Tapi sayang, suara tadi bukan satu-satunya yang bergaung memenuhi telinga. Sebagian egonya berkata lain. Sikap cuek mamanya yang sudah menelantarkan dia selama ini membuat emosi dalam dirinya ikut menggelak. Mama yang tega membiarkan Ari semakin terpuruk dalam kesendirian selama bertahun-tahun terakhir membuatnya ingin membalas semua rasa itu. Ingin rasanya dia meninggalkan wanita itu di sana, di tempatnya meratap saat ini, hanya agar dia tahu, bahwa sendiri dan tidak diacuhkan bukanlah rasa yang cowok itu inginkan. Di mana mamanya tiap kali Ari membutuhkan perhatiannya, perlindungannya, juga kasih sayangnya? Di mana? Kalau mamanya saja bisa bersikap sesuka hati, lalu kenapa Ari tidak?

Ari bergeming cukup lama di tempatnya berdiri, belum bisa memilih, suara hati mana yang lebih ingin ia turuti.

Entah berapa menit akhirnya terlewati dalam hening, Ari tidak begitu peduli. Yang jelas, saat keheningan itu mulai diinterupsi oleh sebuah isakan, Ari mulai kembali pada kesadaran. Kini, saat dilihatnya sang mama menitihkan air mata, cowok itu dibuat sadar, dia sudah membuat dua wanita menangis hari ini. Baik wanita yang menangis dengan air mata berderai, maupun wanita yang menyimpan air mata itu diam-diam.

"Ma..." bisik Ari lembut.

Ya, Ari sudah memilih. Memilih untuk memeluk mamanya erat-erat dan membagi beban itu berdua.

Entah kapan terakhir kali Ari memeluk mamanya seperti ini. Rasanya sudah begitu lama hingga memori itu tak lagi ada di kepala. Cowok itu bahkan tidak ingat kalau tubuh mamanya terasa serapuh ini. Karena seingat Ari, dulu tubuh itu cukup berisi. Cukup untuk membuatnya percaya, kalau sang mama bisa melindunginya dari apapun juga.

Tapi tidak apa-apa. Karena bagaimanapun keadaannya sekarang, rasa hangat dan nyaman yang merambati tubuhnya tiap kali memeluk sang bunda, rasanya tidak berubah sama sekali. Walaupun rapuh, tubuh itu masih sehangat yang dulu. Sehangat ingatan Ari tentangnya.

Mendapatkan pelukan yang rasanya bagai mimpi membuat tangis itu semakin tak kuasa ditahan oleh mama Ari. Wanita itu sadar, dia amat merindukan saat-saat seperti ini. Saat ketika dia masih bisa mengingat, apa itu keluarga. Walaupun memang, pelukan yang dia terima sekarang tak lagi lengkap dengan menghilangnya satu anggota keluarga mereka, wanita itu tetap bersyukur, karena paling tidak, dia bisa mendapatkan salah satunya kembali setelah bertahun-tahun penantian yang panjang.

"Ari... Mama kangen sama kamu," ucap mama Ari sambil terus terisak.

"Ari juga kangen sama Mama." Saat akhirnya bisa dia rasakan lagi kehangatan itu, Ari juga tidak mampu menahan tangisnya. Lama keduanya saling mendekap. Saling berbagi rindu yang akhirnya tersampaikan. Selama beberapa saat yang benar-benar emosional itu, tak ada lagi kata yang terdengar, karena lewat tangis dan air mata, keduanya sudah saling bicara. Dan ketika akhirnya kedua orang itu puas menumpahkan rindu, mereka saling pandang sambil tersenyum.

"Maafin Mama ya, Ri. Selama ini Mama udah terlalu egois. Karena terlalu sibuk, kamu jadi kesepian," ucap mama Ari sambil mengusap lembut pipi cowok itu. "Setelah Mama sama Papa pisah, Mama malah semakin sering ninggalin kamu. Semakin cari kesibukan di luar sana buat pelarian. Maaf, karena Mama udah ngelupain kamu. Lupa kalau kamu juga pasti sama sedihnya sama Mama. Lupa kalau kamu juga sendiri seperti Mama."

Ari menatap wajah mamanya dalam-dalam. Kini, setelah diucapkannya semua itu secara gamblang, kekesalan dan semua kekecewaan yang ditelannya selama ini sontak menghilang. Hilang yang digantikan oleh rasa lain bernama rindu. Rindu yang melebihi rasa bencinya. Rindu yang mampu meluluhlantahkan semua kemarahan yang disimpannya selama ini. Juga karena akan selalu ada kata 'maaf' dalam sebuah keluarga.

"Maafin Ari juga, Ma. Ari juga egois," balasnya lirih.

Sang mama tersenyum mendengar jawaban itu lalu dibelainya kepala Ari penuh sayang. Hari ini, putra tunggalnya yang menghilang selama bertahun-tahun sudah kembali ke pelukan. Dan kini, saat satu-satunya harta yang paling berharga itu telah didapatnya kembali, dia berjanji untuk tidak akan pernah melepaskannya lagi.

"Kita mulai semuanya dari awal ya, Ri? Sekali lagi."

Ari mengangguk. Sama seperti mamanya, sekarang, saat kesempatan untuk memperbaiki hubungan dengan sang bunda akhirnya datang, Ari tidak akan menyia-nyiakannya. Satu-persatu, akan dia kembalikan keluarga yang pernah dia miliki.

"Walaupun tanpa Papa," sambung mamanya dengan suara bergetar.

Ari menghela napas dalam-dalam. Dipejamkannya kedua mata itu rapat-rapat sebelum memberanikan diri untuk bertanya pada mamanya.

"Ma..."

"Ya?"

"Apa rasa cinta Mama untuk Papa udah bener-bener nggak ada?" tanya Ari takut, sekaligus penuh harap. "Bilang 'iya' Ma. Bilang 'iya' dan aku akan berjuang buat kita," pinta Ari dalam hati.

Mama Ari tidak serta merta menjawab. Butuh waktu baginya untuk menjawab pertanyaan anak laki-lakinya itu.

"Ari..." jawabnya sambil membelai pipi cowok itu. "Nggak semua kain robek bisa dijahit lagi. Seandainya pun bisa, keadaannya nggak akan sama seperti saat kain itu belum robek. Kamu tahu kenapa?"

Ari tidak menjawab. Cowok itu cuma terus menatap wajah mamanya lurus-lurus.

"Karena bekas jahitan itu akan tetap ada di sana. Membuat kain itu nggak lagi semulus sebelumnya," jelas sang mama menjawab pertanyaannya sendiri.

Ari menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mama nggak menjawab pertanyaan Ari," jelas cowok itu. "Mama masih sayang sama Papa?" tanyanya sekali lagi.

Sang mama tersenyum sebelum menjawab pertanyaan itu. "Ari yang nggak ngerti jawaban Mama," jawab beliau, membuat dahi Ari sontak berkerut.

"Kain itu masih tetap ada, Ari. Hanya saja, kondisinya sudah nggak lagi sama. Karena sudah robek dimana-mana."

***


Jingga Memang Untuk Matahari (Fanfiction Jingga dan Senja Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang