Musim 1 ~ Segores Masa
Rindu itu tak akan mati meski dikubur.Akan selalu hadir tiap detik, sampai kau mau bicara kalau sungguh sedang rindu.
xoxoxoxoxo
Nilam Pramuditha, entah ramuan apa yang dia konsumsi sampai bisa membuat perempuan itu selalu tenang saat menyelesaikan setiap masalah. Perempuan yang mampu menularkan rasa bahagia ketika berada di dekatnya, juga perempuan yang memiliki berjuta kejutan di setiap pilihannya. Tidak pernah ada kata mengeluh untuk setiap hari yang dilewati, ia tetap begitu anggunnya berdiri di atas pijakan kaki yang terkadang rapuh. Bukankah begitu? tidak ada manusia yang selalu tegar. Yang ada itu, manusia yang selalu pura-pura tegar.
Nila, panggilan biasanya dari teman-temannya. Di sini kisah sederhananya akan diceritakan. Sesederhana ia mencintai sesuatu yang memang layak untuk dicintai.
Tepat pukul 06.45, di Hari Rabu.
Cuaca kurang cerah pagi ini. Segerombolan awan hitam menutupi sinar matahari yang serahusnya sudah muncul menyinari semesta. Suara gemuruh mulai bermunculan dan bersahutan dari langit. Di saat seperti ini, selalu terselip doa di dalam hati Nila agar Tuhan menurunkan hujannya, walau hanya seember jika ditadahkan di bawahnya, Nila akan sangat bersyukur.
Tidak seperti kebanyakan orang lain, Nila mencintai hujan bukan karena ingin menangis dan meminta ditemani hujan agar tidak ada seorangpun yang tahu tentang air matanya. Tetapi, Nila menyukai hujan karena tetsan air hujan yang menyentuh kulitnya benar-benar menyejukan hati, memudarkan segala penat dan perasaan-perasaan yang tidak baik untuk disimpan sendiri. Dalam kamus hidupnya, hujan bukanlah lambang kesedihan ataupun kerinduan, melainkan lambang kebahagiaan dan sebuah kehidupan.
"La, kamu belum berangkat sekolah?" pertanyaan itu membuat Nila menoleh, menghentikan sejenak kesibukannya pagi ini di dapur. Nila langsung tersenyum melihat perempuan yang sudah cukup tua itu berusaha menghampiri dengan kursi rodanya.
"Semalam Nila lupa masak nasi, Bu" jawab Nila samar-samar terdengar karena beradu dengan suara siul burung di depan rumahnya, lalu memasukan beras yang sudah dicuci kedalam magiccom. Nila bukan orang yang pelupa, jika ia melupakan hal yang sudah menjadi rutinitasnya berarti ada yang tidak beres. Entah kenapa, semalam terlalu banyak hal yang membuat kepalanya sakit, dan Nila memiliih untuk tidur lebih awal agar rasa sakit itu tidak terasa lagi di esok pagi.
"Seharusnya kamu berangkat Sekolah saja, La" kata perempuan itu.
"Kalau Nila nggak masak nasi, nanti Ibu makan pakai apa?" Nila sangat mengkhawatirkan keadaan Dinda, Ibu Tirinya. Sejak 2 hari yang lalu ia terus menggeluh jika kepalanya sangat pusing, Nila sudah mengajaknya ke Dokter untuk periksa kesehatan, tapi Dinda selalu saja menolak dengan beragam alasan. Apa boleh buat, Nila tak mau memaska karena pasti tidak nyaman melakukan sesuatu jika karena terpaksa.
"Ibu bisa masak sendiri kok,"
"Enggak apa-apa, Bu."
Dulu Nila terlahir dari keluarga yang bahagia dan berkecukupan. Ibu kandung Nila meninggal dunia karena penyakit kanker usus yang diderita ketika usia Nila belum genap lima tahun. Kehilangan permata pertama di hidupnya membuat Nila selalu merasa tak pantas lagi bersinar seperti teman-temannya, ia selalu sedih karena tidak ada lagi perempuan yang dapat disanjung-sanjung olehnya ketika bercerita dengan temanya.
Setelah bertahun-tahun Nila merindukan sosok seorang Ibu, keluarganya kembali lengkap saat ayahnya memutuskan untuk menikah dengan Dinda. Keluarganya kembali terasa hangat, begitupula dengan kasih sayang dicurahkan untuk Nila, semua terasa sangat membahagiakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PELANGI KEENAM
SpiritualAku membenci hujan. Setiap butir airnya yang jatuh, selalu membuat apa yang telah aku rencanakan dengan baik, hancur dengan mudah. Dia datang tanpa izin. Pergipun dengan sesukanya. Tanpa pernah mau melihat sudah berapa banyak hati yang kecewa karena...