"Telegram!"
Aku tersentak kaget oleh teriakan keras yang terdengar dari luar rumah. Buru-buru aku menyeka tubuh seadanya dengan handuk dan melilitkannya ke pinggang, untuk kemudian setengah berlari menuju pintu depan. Kang Jono, begitu aku memanggil pak pos yang biasa mengantar paket barang pesananku menyodorkan sesuatu, terlihat seperti selembar amplop berwarna biru.
"Lagi mandi ya, bang?" mata kang Jono melirik rambutku. Tanganku meraba kepala. Astaga! Busa sampo masih bergumpal-gumpal rupanya.
Terdengar suara cekikikan dari sebelah rumah. Ketika aku menoleh, kepala Euis, janda muda tetangga sebelah rumah segera menghilang ke balik tembok pagar. Namun kikikannya masih terus berlanjut. Sialan.
"Tadi saya dititipin istri pak Sukimin, pegawai Telkom tetanggaku yang sudah meninggal," jelas kang Jono. Aku ingat istri Sukimin yang disebut kang Jono. Suaminya telah meninggal karena sakit sembilan belas tahun yang lalu. Sejak itu berjualan kupat tahu setiap hari di depan emperan rumahnya. Jika kebetulan sedang lewat, aku sering membeli kupat tahunya.
"Katanya nemu ini waktu bersih-bersih gudang," kang Jono menjelaskannya mambaca kebingunganku akan amplop biru itu.
"Saya jalan lagi ya, bang. Masih banyak yang harus diantar."
"Makasih, kang," balasku sambil melambaikan tangan. Euis masih cekikikan di sebelah.
Aku mengunci pintu, meletakkan amplop biru tersebut di meja ruang tamu dan melanjutkan mandiku. Mataku perih kemasukan busa sampo yang meleleh.
***
Seharian aku berkutat di depan komputer. Seperti biasa, jika sudah begini aku suka lupa segalanya: lupa makan dan lupa waktu, sampai terdengar suara tok-tok pertanda tukang bakso ada yang nyasar ke komplek perumahan tempatku tinggal. Baru aku sadar kalau perutku berseru-seru minta diisi. Nasib menjadi duda: makan kapan sempat, itupun kalau ada penjaja lewat.
"Baksoooo!" teriakku kencang takut penjual baksonya keburu menghilang. Kusimpan dulu semua hasil kerja dalam harddisk eksternal—tak ada jaminan bahwa listrik tak akan mati mendadak.
Semangkok bakso kusantap sambil menonton televisi di ruang tamu, sampai pandanganku tertumbuk amplop biru yang terlupakan tadi.
Aku memperhatikan dengan seksama. Ada logo bulat bergaris biru tua dengan tulisan TELKOM di sebelah kiri atas dan TELEGRAM pada pojok atas kanan. Kertas minyak putih transparan memperlihatkan isinya: sederetan kode yang aku tak mengerti berikut nama dan alamatku.
Kurobek salah satu sisi amplop tersebut dengan hati-hati.
Stempelnya menandakan diterima di kantor daerah telkom kotaku tanggal 14 November 1995. Saat itu, aku berada di rimba belantara beton ibukota. Pekerjaanku dulu mengharuskanku berpindah-pindah. Baru tujuh tahun terakhir ini aku memilih menjadi independen.
Kuabaikan huruf dan angka sandi, langsung membaca isinya:
DARI CECILIA YOGYAKARTA ++
JEMPUT AKU DI STASIUN SABTU TGL 18 JAM TUJUH PAGI TTK STOP
Hatiku berdesir nelangsa. Telegram yang terlambat 20 tahun lamanya. Tetapi andaikata sampai padaku duapuluh tahun yang lalu pun, tak mungkin aku menjemput Sisil—panggilan Cecilia—ke stasiun. Istriku—mantan istriku—mungkin akan membumbui makananku dengan racun tikus.
***
Dua puluh lima tahun lalu, terakhir aku bertemu Sisil di tangga menuju lantai dua kampus kami.
"Selamat ya, lulus cum laude," aku menghadangnya menyodorkan salam. Aku membaca hasil yudisiumnya di papan pengumuman depan ruang tata usaha jurusan.
"Terima kasih," jawabnya sedingin udara Kaliurang di malam hari.
"Nggak jadi dong, wisuda bareng," godaku. Dulu aku pernah memintanya berjanji untuk itu.
"Lha, kamu kan sudah nikah duluan...." Ada nada terluka dalam intonasinya, yang tak kuduga-duga.
Sisil dua tahun di bawahku. Tapi karena ia terlalu pintar—dan aku terlalu bodoh atau malas, atau keduanya—kami sering bertemu pada mata kuliah yang sama. Cewek yang mengambil jurusanku sangat sedikit, satu berbanding duabelas, dan tiap angkatan hanya menerima kurang dari lima puluh mahasiswa. Bisa dibayangkan betapa gersangnya pemandangan saat kuliah, sehingga aku sering menjelajah ke fakultas-fakultas lain, seperti Fakultas Psikologi, Biologi atau Sastra. Atau nongkrong di Gelanggang Mahasiswa, hanya untuk sekadar mencuci mata.
Sisil yang sering mengomeliku jika aku bolos. Meskipun begitu, ia tetap membubuhkan parafku pada tanda hadir jika ternyata aku tak muncul di ruang kuliah. Juga memfotokopikan diktat dan catatan. Dia juga betah duduk di depanku dengan tangan terlipat dan bibirnya dimanyun-manyunkan menungguiku menyelesaikan pe-er sampai tuntas.
Ada dua kali aku mengantar Sisil ke gereja di Sabtu sore saat orangtuanya ke luar negeri. Dan tak terhitung berapa banyak rantang lauk-pauk ataupun juadah untuk berbuka yang diantarnya ke tempat kostku selama beberapa kali Ramadhan.
"Aku jamin halal," katanya selalu.
Sampai kemudian aku jatuh cinta kepada seorang gadis yang kemudian menjadi istriku, dan jarang berjumpa Sisil.
Aku menikah sebelum lulus, hanya tinggal menyelesaikan skripsi yang ternyata butuh waktu bertahun-tahun untuk kutuntaskan. Sisil menghilang setelah hari wisudanya.
Bertahun-tahun aku mencoba mencari kabar tentangnya, termasuk dari teman-teman seangkatannya tanpa hasil apa-apa. Sisil lenyap bagai ditelan badai Laut Selatan.
***
"Pak, baksonya sudah?" suara tukang bakso dari depan pintu rumah yang kubiarkan terbuka membuyarkan lamunanku. Kuserahkan mangkok bakso yang masih tersisa separo dan selembar uang duapuluh ribu.
"Belum ada kembaliannya, pak. Besok saja bayarnya," kata tukang bakso dengan logat Wonogiri yang kental.
"Ambil saja, mas."
Aku memeriksa tanggalan di telpon genggamku. Besok 18 November 2015.
Aku akan ke stasiun sebelum pukul tujuh.
Bandung, 19 November 2015
KAMU SEDANG MEMBACA
Pada Sebuah Bangku Taman (Telah Terbit)
Short Story(Kumpulan Cerpen tentang Cinta Pastinya) Apakah cinta? Di mana adanya? Kisah-kisah dalam kumpulan cerpen ini tak bermaksud menjawab pertanyaan yang hadir sejak manusia mulai berpikir, hanya memberi cakrawala bebas tafsir. Semoga menghibur. Foto cove...