23 Maret 2016
18.02~
Halo, Diary.
Kalau kalian menebak hubunganku dengan Darin menjadi buruk, kalian tidak sepenuhnya benar.
Yah, hubunganku dengannya memang merenggang.
Tapi sampai sekarang, aku masih bertanya-tanya.
Kenapa Darin mau-maunya mengajakku ke taman bunga waktu itu?
Apa ... dia tidak ada maksud tertentu membawaku ke sana?
Maksudku, ayolah, aku bukannya ke-geeran, seperti bab-bab sebelumnya, aku hanya ... ugh, naifnya dirimu Anin, aku hanya ingin tahu apa maksudnya kala itu.
Sudahlah, aku akan berusaha bertanya padanya. Kalau dia bersedia menjawab, sih.
Salam.
Anindita S
~
Dua gelas cangkir yang masing-masing berisi cokelat panas plus marshmallow yang tampak sama sekali belum disentuh itu menjadi saksi bisu Resta yang berusaha menghibur Anin.
Sejak tiba di kafe yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari sekolah mereka, Anin sama sekali belum membuka suara. Bahkan, tatapan matanya terlihat kosong, seolah Darin telah menarik seluruh jiwanya saat mata Anin menonton insiden penembakan Darin pada Lira.
"Lo ... yakin nggak papa?" tanya Resta seraya menyentuh pundak Anin.
Anin menghela napas dan menatap Resta tepat di manik matanya. Membuat lelaki itu sedikit gelisah karena mata Anin tampak ... berkaca-kaca.
Perlahan namun pasti, tetes-tetes air mata keluar dari manik hitam Anin. Membuat Resta sedikit bingung harus berbuat apa tapi pada akhirnya, lelaki itu mengusap bahu Anin sembari menyodorkan sebuah sapu tangan biru.
Anin sudah tidak dapat menahan perasaan itu. Perasaan sedih sekaligus kesal pada Darin.
Ha! Salahkan lelaki itu karena sudah mengobrak-abrik hati Anin yang mudah jatuh hati, apalagi dengan paket lengkap yang Darin miliki.
"Darin sialan, dasar, harusnya gue tau diri kalo gue ... ga pantes--"
"Lo lebih dari cukup buat dia, Nin! Dia yang nggak pantes dapetin lo!" Anin tersentak melihat Resta yang tiba-tiba menyela.
Resta terlihat gusar sampai akhirnya lelaki itu mengusap wajahnya dengan kasar. Resta mendongak dan menatap Anin dengan sayu.
"Nin ... Darin yang nggak pantes dapetin lo, dia.... " Kata-kata Resta terhenti.
Anin menunduk menatap jalinan jemarinya. Perkataan Resta benar-benar mengusiknya.
"Tolong ... jangan bilang Darin kayak gitu, Res--"
"Anin? bareng Resta?" Keduanya menoleh dan membelalak saat menemukan orang yang tengah mereka bicarakan tepat berada di samping meja kafe.
Bahkan bersama pasangan barunya.
"Eh, ternyata kalian deket juga ya," ujar Lira tersenyum sumringah.
Sepertinya pasangan baru itu sama sekali tidak mendengar kata-kata Resta dan Anin tadi. Anin sedikit bersyukur dalam hati karena dirinya dan Resta berbicara dengan intonasi yang hanya mereka dapat dengar.
Sebisa mungkin, Anin mengulum senyum. Berbeda dengan Resta yang menatap Darin dengan pandangan menusuk.
"Y-ya, seperti yang lo liat," ujar Anin patah-patah. Sial, kenapa ia malah jadi terdengar gugup begini? Rasanya seperti berusaha berbohong di depan ibunya sendiri, padahal ini hanya Lira dan Darin, bukan ibunya.
Kau mengerti maksud Anin bukan?
"Oh, maaf kalo kita ganggu, kita pergi dulu." Sebelum Darin sempat pergi, Anin menahannya dengan menyentuh lengan lelaki itu dengan canggung.
"U-uhm, Darin, boleh ngomong sebentar?"
Bagaimanapun juga, Anin harus menyelesaikan ini secepat mungkin. Anin butuh jawabannya, sekarang. Tanpa mengindahkan tatapan Resta yang seperti menyelidik, Anin mengambil resiko.
Resiko yang mungkin bisa mematahkan hati Anin untuk yang kedua kalinya dalam hari yang sama.
~
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of an Unseen One [END]
Teen FictionAku menatap lamat-lamat teman-temanku dari Komunitas Pena yang asyik bercengkrama satu sama lain. Diam-diam, aku bersyukur karena dipertemukan dengan mereka. Mereka tidak menyadari kalau sebenarnya, mereka telah menghapuskan empat kata di dalam hidu...