Adeera POV
Gue membuka pintu Ruang Sekretariat Jurnalistik dengan sedikit ragu. Membuka pintu itu sedikit lebih lebar, dan menemukan Devan lagi duduk di sana. Di kursi singgasananya. Dengan kacamata yang membingkai kedua matanya, dan kerutan halus di sekitar dahinya, ditambah lagi suasana detik-detik gue mau menyampaikan seribu satu alasan gue buat menunda deadline wawancara, dalam kasus ini khusus gue sendiri, membuat semua ketampanan Devan menguap entah kemana. Meninggalkan aura-aura menyeramkan yang rasanya bikin gue pengen ke toilet.
Gue langsung gelagapan ketika Devan mengalihkan pandangannya dari berkas menjadi ke arah gue. Dengan cepat gue masuk sambil menoleh ke arah lain, menghindari tatapan elang mematikan milik Devan. Gue berjalan menuju kursi dan menggeser sebuah kursi yang berniat untuk gue duduki. Suara gesekan kursi dengan lantai ruangan membuat aura mencekam semakin kian terasa. Dan tatapan sialan itu malah makin mengikuti setiap gerakan gue.
"Kenapa?" tanya Devan tepat ketika gue baru aja duduk di kursi.
"Ehmm... Itu...." gue bahkan jadi gak tau mau bilang apa. Tiba-tiba blank gini.
"Mau ngeles apa lagi buat deadline lo?" Skak mat! Pertanyaan Devan tepat sasaran. Gue langsung nyengir dengan kepaksa.
"Itu, Dev, anak basket kan mau liburan nih akhir minggu ini. Jadi gue baru bisa ngewawancarain mereka habis mereka liburan," jelas gue. Devan gak menjawab apapun, tapi masih menatap gu dengan tajam. Membuat gue gelagapan sendiri.
"Tapi entar sebagai gantinya, gue suruh anak basket bawa kamera gue buat ngeabadiin momen mereka disana. Jadi rubik kosong di majalah sekolah entar biar gue isi tentang liburan anak basket sebagai hadiah mereka juara satu aja. Gimana? Setimpal, kan?" tawar gue yang langsung membuat senyuman Devan merekah.
"Deal!"
**
Gue menghela napas, mencoba mencari-cari semangat yang semulanya menggebu-gebu namun sekarang malah hilang entah kemana. Gue lihat lagi ke sepenjuru kelas dan menemukan cuman tersisa gue dan dua anak lain di dalam kelas. Sedangkan sisanya udah pergi entah kemana, yang paling memungkinkan sih ke kantin.
Akhirnya setelah cukup lama gue berdiam diri sejak bel istirahat berbunyi, gue mulai berdiri dan berjalan ke luar kelas. Koridor terlihat cukup lenggang, mungkin anak-anak pada masih sibuk di kantin. Berebut meja atau mengantri makanan sih kayaknya.
Dan jelas aja ini waktu yang tepat buat gue untuk nemuin Bagas.
Jangan mikir macem-macem lo!
Gue cuman mau minta tolong dia buat bantuin gue tentang liputan mereka liburan. Dan gak berniat buat ngomong apapun yang berhubungan dengan hubungan gue sama Bagas di masa lalu. Tapi walaupun gue niatnya buat minta tolong untuk majalah sekolah, gue yakin anak-anak pasti mikir yang enggak-enggak kalo sempet mereka ngeliat gue 'akhirnya' ngomong sama Bagas di sekolah. Makanya gue mutusin buat nemuin dia di jam-jam koridor sepi kayak gini.
Dan, di sinilah gue sekarang. Menyandar dengan santai di loker yang gue gak tau milik siapa. Gue cuman mau nunggu Bagas yang sekarang lagi ada di depan gue, dia kayaknya lagi naroh sesuatu ke dalem lokernya dan gak nyadar kalo gue dari tadi udah berdiri nungguin dia. Wajar sih dia gak nyadar, gue berdiri di bagian yang kemungkinan kalo keberadaan gue tertutupi sama pintu lokernya.
Bagas tersentak kaget pas ngeliat gue setelah dia menghempaskan pintu lokernya. Gue membalas tatapan kaget Bagas dengan sebuah senyuman manis, bangga juga sih pas nginget kalo gue secara gak langsung lebih 'gentle' dari Bagas karena selama kita putus kita gak pernah ngobrol bareng lagi dan sekarang gue duluan yang ngajak dia ngobrol. Walaupun ini karena gue ada maunya.
"Hai," sapa gue pas Bagas kayaknya gak berniat sedikitpun buat nyapa gue duluan.
"Hai...," jawab Bagas setelah sadar dari keterkagetannya. Gue cuman tersinyum simpul menanggapi tingkahnya.
"Akhir minggu ini mau liburan sama anak basket, ya?" tanya gue langsung.
Lagi-lagi Bagas natap gue kaget, "kok tau?"
Gue mengibaskan tangan di udara, "gak penting. Yang penting itu, lo mau gak nolongin gue?"
Kedua alis Bagas langsung terangkat, "bantuin apaan?"
"Bantuin gue buat ngambil foto-foto liburan kalian di sana. Buat artikel anak basket di majalah sekolah, nih. Kan gue yang kebagian ngurusin kalian," jawab gue. "Mau ya?"
Bagas tampak berpikir sebentar, "mau gak ya...." tanyanya dengan dirinya sendiri.
Gue mendengus kesal, "yaudah kalo gak mau. Gue minta ke lain aja," ucap gue sambil bersiap untuk pergi.
Namun tiba-tiba Bagas nahan lengan gue, gue terkesiap. Memandang tangan Bagas yang menyentuh kulit gue, dan beralih ke wajahnya.
"Gue mau deh." Jawaban Bagas menyadarkan gue dari lamunan. "Tapi di bayar gak, nih?"
"Pelit amat sih," sindir gue.
"Gak mau lah gue kalo gak dibayar. Dikira megang kamera gak capek?"
"Yaudah. Uang hasilnya gue enam puluh persen, lo empat puluh persen," tawar gue.
"Ah, gak perlu. Traktir gue ke coffe shop aja gimana?" Senyum jahil Bagas langsung tercetak di wajahnya. Kayak-kayaknya sih gue tahu maksud dia apa.
"Oke. Entar kameranya gue anter."
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Untuk Adeera
Teen FictionArsakha Gibran Alfahrizzi, cowok yang jatuh cinta sama pacar sahabatnya sendiri. Gak ada yang tau kalau dia menyimpan rasa kepada Adeera sama seperti gak ada yang tau kalau dia suka menulis surat khususnya ke Adeera. Baginya, Adeera adalah duniany...