8

53 7 0
                                    

Dia kembali.

"Nama saya Nathan Agriel, saya biasa dipanggil Nathan atau Griel, saya pindahan dari Australia, salam kenal,"

"Ya, jadi, yang ada pertanyaan buat Nathan angkat tangan?" hampir semua murid mengangkat tangan, mayoritas yang perempuan.

"Ifha silahkan,"

"Nathan kok lancar bahasa indonesianya?"

"Saya dulu pernah tinggal di Indonesia," jawab Nathan seraya tersenyum, para siswi memekik tertahan.

"Ada lagi?" para siswi mengangkat tangan lagi,

"Nathan ada Line?"

"Nathan udah punya pacar?"

"Nathan ada Instagram gak?"

...

"Sudah! Pertanyaan kalian aneh-aneh semua. Jadi Nathan, kamu boleh duduk disana," ucap Bu Hanifah menunjuk bangku kosong di sebelah Denia. Semua siswi bersorak mengeluh, "Yahhhh.."

"Ja-jangan disamping s-saya bu," Denia mengeluarkan topeng nerdnya. Dia memejamkan matanya, menahan air mata yang hendak keluar, Vano menatapnya heran.

"Lo kenapa De?" ucap Vano berbisik.

"Memangnya kenapa Denia?" Nathan tersentak mendengar nama Denia, dengan cepat ia menoleh mendapati masa lalunya, orang yang sudah ia sakiti.

"Ng-nggak ada bu, tolong dia j-jangan duduk di s-samping saya," menunduk, kebiasaan nerd Denia. Setitik air matanya keluar, ia teringat saat-saat kelam itu, namun dengan segera Denia menghapus air matanya tak ingin ada orang yang melihat. Tapi Denia terlambat, Vano sudah melihatnya.

"Nggak bisa. Nathan, silahkan duduk di tempat yang sudah saya tunjuk," Nathan mulai berjalan ke arah bangku disamping Denia. Saat Nathan lewat, tak sedikit siswa yang berbisik-bisik, mungkin mengagumi ketampanan Nathan.

Nathan, dengan rambut coklat dan mata hijaunya, kulit putih, rahang kokoh dengan badan yang atletis membuat kaum hawa tak segan-segan memujanya.

"Jadi, kita hanya belajar setengah jam, karena guru harus rapat, jika bel pulang sudah berbunyi, kalian dibolehkan pulang. Ayo mulai pelajarannya," ucap Bu Hanifah.

Nathan duduk di bangku itu, menaruh tasnya lalu menatap Denia lekat. Meneliti setiap bagian wajah Denia,

Nggak ada yang beda, cuma mata hitamnya yang sekarang dibingkai oleh kacamata dan rambut indahnya yang sekarang ia kepang.

Denia yang merasa sedang ditatap oleh seseorang menoleh, ia mendapati Nathan yang tengah menatapnya.

"Ga usah natap gue." ucap Denia dingin.

Dia masih ingat gue ternyata,

Namun Nathan tak juga mengalihkan pandangannya. Denia yang risih langsung berdiri, membuat suara dan seisi kelas menatapnya,

"Bu, s-saya izin ke kamar mandi." Bu Hanifah mengangguk, Denia berjalan cepat keluar dari kelas.

"Saya izin ke wc bu," Nathan berdiri,

"Saya juga bu," Vano ikut berbicara.

"Lah, ini kenapa jadi ke kamar mandi semua? Ya sudah cepat!"

•••

"Kenapa dia harus dateng lagi?!" Denia berteriak sambil mengacak rambutnya.

"Gue udah cukup baik disini, tapi kenapa di balik lagi?!" sekali lagi Denia mengacak rambutnya. Denia sekarang berada di Rooftop, tempat biasanya, ya, dia berbohong saat di berkata ingin ke kamar mandi, ia duduk di dekat dinding pintu Rooftop, lalu menyandarkan punggung serta kepalanya.

Disisi lain, Nathan berjalan di koridor, bermaksud mencari Denia yang tadinya izin ke kamar mandi tapi ternyata tidak. Vano yang memang curiga dengan sikap Denia terhadap Nathan mengikuti laki-laki itu. Vano yakin bahwa Denia ada di Rooftop tapi ia tak ingin Nathan tahu, dan mungkin Denia juga begitu.

"Sori," Vano memegang bahu Nathan.

"Kenapa?"

"Lo siapa nya Denia?" Nathan terdiam sejenak,

"Bukan urusan lo." jawab Nathan dingin.

"Kalo menyangkut Denia, itu urusan gue."

"Lo siapa nya Denia?" Nathan mereplay kata-kata Vano.

"Gue-"

"Lo berdua ngapain disini?" Denia menatap kedua laki-laki yang menjadi idaman siswi satu sekolah.

"Mending lo berdua balik ke kelas."

"Tapi gue mau ngomong sama lo." Nathan berbicara,

"Ga ada yang perlu diomongin." Denia menatap Nathan dingin.

Belum sempat Nathan kembali berbicara, Vano menarik tangan Denia, meninggalkan tempat Nathan masih berdiri.

Kedua manusia itu sampai di taman belakang, Denia tampak menahan amarah, kesal dan tangis.

"Duduk dulu De," Vano berusaha menenangkan Denia. Perempuan itu tetap diam dengan ekspresi tadi.

"Kalo mau nangis, nangis aja De." seketika Vano menarik Denia ke pelukannya. Denia tampak terkejut, namun ia segera membalas pelukan Vano, lebih erat. Denia merasakan sesuatu yang aneh, hal yang sudah lama tak ia rasakan, rasa nyaman, terlindungi, aman. Semua itu ia rasakan saat berada didekat Vano. Saat itu Denia sadar,

Gue udah jatuh cinta sama lo Van,

Semuanya benar, cinta tak bisa dipaksa, cinta ada karena biasa.

Tangisan yang tadinya hanya berupa isakan berubah menjadi Tangis yang deras. Vano semakin erat memeluk Denia.

"Shh, luapin semuanya De, lo boleh nangis sepuasnya," Vano menatap Denia sendu, tak pernah ia melihat Denia yang begitu rapuh. Dimana letak gadis angkuh dan berego tinggi yang biasanya Denia tampilkan didepan Vano? Kemana perginya gadis itu?

"Gue bakal selalu ada buat lo." Vano mengelus pelan rambut Denia. Gadis itu berkata,

"Jangan pernah pergi Van." membuat Vano tersenyum tulus,

"Of course i'll always be with you."

•••

Hai! Sesuai janji gue, gue bakalan update kalo kalian ngasih vote, dan tadi udah ada yang ngevote. Cuma 1 sih, tapi gapapa yang penting gue seneng, makasih banget buat yang udah baca fanfict absurd gue ini.

Terima kasih kepada SIDERS yang setia jadi Anonymous cerita gue.

Tertanda,
Luke Hemmings

DeniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang