Pejuang Tangguh Hubungan Jarak Jauh

2K 337 22
                                    


Saat mendengar Ali harus melanjutkan kuliah S2-nya di Jogja, aku kehabisan kata. Kami sudah berpacaran lebih dari tiga tahun dan aku tidak pernah mendengar dia akan melanjutkan study-nya. Dia bilang begitu kami lulus menjadi sarjana dan mendapatkan pekerjaan, dia akan menikahiku. Ini menyakitkan, untuk kesekian kalinya aku harus menekan egoku.

"Ini demi masa depan kita," katanya saat berpamit denganku setelah hasil ujian masuknya diumumkan. Aku ingin marah, tapi apa yang ia lakukan dan jadikan alasan itu salah? Ya Tuhan ini pilihan yang amat sulit bagiku. Mau tidak mau kuputuskan untuk mendukungnya. Aku masih ingat betul saat kuantar dia di security check-in bandara. Aku mewanti-wantinya untuk segera memberi kabar begitu ia sampai di Jogja. Satu hal yang selalu kujaga agar hubunganku berjalan baik-baik saja, komunikasi dan saling percaya.

"Sayang, kabarin aku langsung begitu kamu landing ya, jangan lupa makan."

Perhatian kecil memang, namun dari situ aku tahu, Ali merasa dibutuhkan dan ditunggu. Meski untuk waktu yang lama aku masih tidak bisa menerima keputusannya kuliah S2 di Jogja, Ali selalu bisa kupercaya.

Suatu ketika, aku sempat tidak bisa menghubunginya. Dia bilang sebelum komunikasi kami terputus akan ada seminar nasional di kampusnya dan dia ditunjuk sebagai panitia. Aku khawatir bukan main karena hampir 12 jam tak ada kabar sama sekali darinya. Entah sudah berapa puluh pesan kukirim padanya namun tetap saja tidak dibaca. Saat-saat seperti itu adalah saat yang paling baik untuk munculnya rasa curiga dan cemburu. Aku benar-benar marah dan ingin sekali mengutuknya, hingga tepat pukul sebelas malam, sebuah pesan masuk ke ponselku.

'Sayang, aku baru selesai acara ini. Tadi bubar jam delapan malam, terus makan bareng dulu semua panitia di angkringan.'

Aku bertambah marah saat tahu dia sempat makan bersama teman-temannya namun tidak sempat mengabariku. Ali yang sangat tidak peka. Tapi setelah kupikir lagi, aku tersadar. Tentu saja Ali harus kuberi ruang untuk membebaskan diri. Ali memiliki ruang tersendiri yang harus kupercayai. Tidak selamanya dia akan terus berada di sekelilingku dan mendengarku. Akupun harus mendengarnya. Saling mendengar menjadi kunci agar kami tak lagi saling caci lewat pembicaraan pribadi.

"Emang acaranya apaan aja sih Li kok sampe malem gitu?" Tanyaku saat pagi harinya Ali menghubungiku.

"Ada coffee break Sayang. Sebenernya di jadwal cuma sampe abis maghrib, tapi pembicaranya keasikan ngobrol. Makanya kita panitia juga nggak berani bubar. Kamu nunggu kabarku ya? Maaf ya Prill, aku sampe nggak sempat ngasih kabar. Kamu pasti khawatir. Tapi tenang, aku nggak pernah lupa makan sama sholat kok, itu kan jargon abadi kamu yang selalu bikin aku kangen."

Sungguh aku tersenyum bangga saat mendengarnya berceloteh di seberang sana setelah aktivitas melelahkan yang dilaluinya semalam. Saling Pengertian juga harus kutanamkan demi menjaga keutuhan hubungan. Ayolah, kebersamaan selama hampir empat tahun yang kami bina tidak akan sempurna tanpa adanya saling mengerti dan menerima. Untuk menyerah di titik ini adalah cara yang keterlaluan mudahnya.

Mendekati tahun kelima hubungan kami, Ali makin sibuk dengan tesisnya. Aku tahu betul waktunya akan semakin tersita. Cemburu pasti ada, apalagi saat kudapati banyak perempuan silih berganti menggelayut manja di pundaknya menghadap kamera. Atau komentar genit di akun sosial medianya yang memedaskan mata. Tak jarang aku ikut berkomentar di salah satu fotonya hanya untuk menegaskan bahwa aku pacarnya. Aku seperti tidak rela perempuan lain menyentuh lelaki yang sudah kusegel hatinya. Kadang aku berfikir, apa sikapku yang terlalu pencemburu membuat Ali menjaga jarak dari teman-teman perempuannya? Saat kutanya, jawabannya sangat mengejutkan.

"Nggak papa aku jauh dari mereka juga, asal makin dekat hatiku ke kamu. Kamu tau aku selalu menjaga hatiku Prill. Jangan khawatir ya, mereka nggak ada yang lebih cantik dari kamu kok."

Menjaga hati, betapa pentingnya sikap yang satu ini. Aku di sini sebenarnya bukan tanpa godaan. Ada lebih dari tiga pria mapan yang siap meminangku dan datang memperistriku. Mereka semua menjanjikan masa depan yang cerah yang mungkin saja tidak bisa ditolak ayah dan bundaku. Tapi seperti Ali nun jauh di sana, aku pun ingin menjaga hati. Akan ada kebahagiaan yang lebih dari sekedar masa depan cerah saat aku bisa terus mendampingi Ali melalui masa sulitnya.

Setiap liburan semester, aku dan Ali selalu menyusun waktu bersama untuk sekadar mengunjungi tempat favorit saat dulu kami masih punya banyak waktu berdua. Nonton berdua, memborong buku bacaan dan saling bertukar ide, yang jelas aku benar-benar akan memanfaatkan waktu yang ada. Manfaatkan waktu bersama dengan kegiatan lama akan tetap memelihara rasa bahkan semakin menumbuhkannya. Ali yang imut dan selalu memperhatikan hal kecil yang kulakukan selalu mengingatkanku pada kenangan kebersamaan. Napak tilas atau mengunjungi tempat pertama kencan, mencoba camping di pinggir pantai yang nyaman mampu menjaga perasaan kami tetap menyala dan detak cinta yang telah lama redup tak perlu dipanggil sekuat tenaga.

Kadang kala jika Ali sudah kembali pada kesibukannya, aku sering lupa mengingatkannya pada hal-hal kecil yang dulu membuat kami sangat bergantung. Aku sering menganggapnya hal tidak penting karena kupikir hubungan kami adalah jalinan yang dewasa. Saling mengingatkan tentang sudah makan atau belum, sudahkah sholat Isya sebelum tidur atau sekadar bercerita tentang aktivitas esok pagi benar-benar tidak pernah kuanggap bermakna. Namun aku beruntung, Ali tak pernah lupa untuk menanyakan hal itu padaku. Lama-lama aku menjadi terbiasa dengan perhatian kecil di sela-sela rindu yang selalu ia selipkan untukku.

Aku bahagia, Ali tidak membiarkanku berjuang sendirian melawan sepi dan kehampaan. Kami tumbuh menjadi pejuang tangguh hubungan jarak jauh. Terbukti, Ali hampir menyelesaikan S2 -nya di Jogja dan hubungan kami masih baik-baik saja. Selipan rindu di setiap doa yang memelukku dari jauh dikirim Ali setiap harinya. Akupun begitu, tak pernah lupa ku selipkan namanya di doa yang kupinta.

Kami hampir selesai berjuang, cinta kami tumbuh sebagai padang ilalang di tanah gersang. Kuat dan tak mudah digoyahkan. Terima kasih Ali, untuk selalu mengerti. Perjuangan tangguh ini akan selalu kunikmati. Karena sesungguhnya hal terindah dalam hubungan kita adalah saat aku melihat senyummu begitu turun dari kereta atau keluar dari bandara. Aku lega, meski jauh kau selalu ada.

-Mput-

Tips And Trik Ala KSAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang