Keangkuhan yang Pergi

57 2 0
                                    

Di hari-hari terakhir musim dingin tahunku yang ke sembilan belas, semua orang melompat ke satu kesimpulan yang sama, barangkali karena abdi jarang keluar, membuang waktu diatas kasur, membaca buku yang sama terus-menerus, makan tidak teratur, dan mengabdikan waktuku mendengarkan lagu rock Inggris yang galau.

Nyalakan rokok itu, satu untuk menyerah atasku. Oh, dan satu lagi untuk memadamkanmu lebih cepat dari yang Tuhan kira.

Andaikan saudara membaca omong kosong orang-orang yang merasa dirinya Tuhan Sang Maha Tahu, mereka selalu menorehkan seperti duka adalah efek samping dari berpacaran. Tapi, sebenarnya, duka adalah efek samping dari mencintai. Mencintai adalah efek samping dari dibesarkan dengan sehari-hari mendengarkan lagu-lagu rock Inggris yang sedih, diagungkan sepanjang masa. Tapi sobatku ngotot aku butuh perhatian khusus.

Untuk pembohongku tercinta, aku mengangkat vodka murah. Untuk luka kesayangan.

Berhentilah bersarang di gubuk mengerikan itu, katanya. Akan menyenangkan diluar sana, katanya.

"Sampai mati memisahkan kita," aku memimik sekaligus mencibir. Lagu ini dan ucapannya. Langkahku terseret dan terseok. Kuharap engkau tersedak dustamu sendiri. Mudah sekali ya, bercakap manis, menjilat.

Balkan, bukan sang vodka, membutuhkan selamanya cuma untuk bermani sembarangan di tengah taman. Bukannya aku tidak sayang pada anjingku, tidak, namun keberadaan sosok itu. Mampus, dibuatnya aku mati gaya. Kutarik lehernya yang dikekang dengan gusar tapi ia tetap bergeming. Dari jauh pun aku bisa mengenalinya. Ingin kugali saja kuburku sekarang juga. Ciuman-ciuman, bergelas-gelas vodka, dan tetek bengek lainnya menghantam sementara kurasakan otakku mendidih, pipi padam. Seperti hendak mati, kilasan klip hari itu menabrakku bagai truk.

"Sebenarnya tidak banyak yang harus dikatakan," kata Adelaide.

Aku mengangkat wajah, sedikit lega, tetapi benci karena gadis itu yang memulai.

"Aku engah kau pasti membenciku. Aku tidak bisa menghalangimu berpikir begitu. Tapi aku ingin kau tahu bahwa ini bukan sesuatu yang kurencanakan."

Klise. "Adelaide," bicaraku tersendat. "Itu tidak mengubah apapun."

Adelaide merunduk menatap kukunya yang lebih mahal dari makan siangku, nyaris terlihat menyesal.

"Aku mafhum."

"Adelaide Alberta. Cantik, cekatan, cerdik, segalanya yang ada di dunia ini dan cukup." Juga cetek, congkak, dan cintaku. "Aku tidak terkejut."

"Kemana haluanmu, Essex?"

"Kau tahulah, aku cowok boyak belaka yang baru memulai kuliah, nantinya lulus, lalu bekerja mati-matian tiada henti, sampai publikasiku diapresiasi orang banyak. Pena versus bola basket, entahlah." Berhentilah berbicara, demi Tuhan.

"Dia pemain sepak bola." Adelaide acap mengalihkan matanya lagi, seolah-olah aku tolol.

"Apapun itu, kau mengerti maksudku. Aku membosankan."

"Tidak. Kau tidak membosankan."

"Aku culun. Culas."

"Kau baik sekali."

Anak dara itu balas menatap dengan mata biru jernih dan senyum malu, rambutnya yang legam jatuh tepat di kedua bahunya. Wajah tulus dan mulus tak berdosa inilah yang membuatku jatuh hati dan terjembab, tak bisa merangkak keluar.

Selama ini Adelaide mengacah.

"Andaikan begitu, kenapa kau jalan dengan Pemain Sepak Bola?"

"Itu bukan karena kau tidak baik." Cukup, Essex, angkat kaki sebelum ia meracunimu lebih dalam. "Kau baik sekali. Segalanya hanya terjadi begitu saja. Seperti ini."

Baik sekali, cakapnya. Awak baik sekali. Aku baik sekali dan dia ingin meninggalkanku untuk pergi bersama cowok berkeringat yang akan mencetak gol, dibayar terlalu mahal, berpesta pora bila tidak bermain, dan mencumbunya habis-habisan di akhir pekan. Itu baru baik sekali.

Berhentilah menghanguskan jembatan antara kita ini, sia-sia. Kenapa tidak sekalian kamu loncat dari sana? Jadi aku tidak perlu. Tidak perlu.

Mau tak mau aku kudu berdamai dengan hidup, diam di neraka yang diciptakan khusus oleh lawannya Tuhan untuk menyiksa. Hanya beberapa detik lagi. Daripada Balkan sang maltese ikut mati kuseret. Kedua bola optik ini tak bisa luput darimu, kasih. Atau sebenarnya aku hanya menghalusinasikan dirimu, bangsat.

Ya, terus kubur dia, Essex. Semua orang tahu dia punya tempat khusus di lingkar sembilan. Pengkhianatan. Disiksa dan dibekukan sampai menjadi es. Lucunya kau tak akan menderita disana, mengingat hatimu pun sama dinginnya. Tidak berdetak.

Senyum pria itu tambangmu. Lingkarkan saja diantara lehermu. Jadi kau bisa terus berpegang teguh padanya sementara lama kelamaan tali itu menggantungmu.

Jendela jiwamu berbinar mengalahkan matahari, menatapku, tapi pura-pura tidak mengenaliku. Bibirmu berbisik dengan gaduh akan keberadaan kikuk dan namaku, tapi bukan kepadaku. Laughing, not with me, but at me. Kata cemburu lari keluar dari mulutmu. Ya Tuhan, menghancurkan hati tak pernah sekeren ini. Riasanmu indah sekali disamping bibir pria itu.

DerauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang