Matahari tengah terik ketika aku sedang duduk di tepi sungai Danube. Siang itu, entah mengapa angin berdesir begitu kencang. Aku menikmatinya, sangat menikmatinya. Seolah aku memang sedang berbicara dengan dawai itu. Mencoba menyampaikan rinduku yang tiada tara kepada ayahku yang sudah berbahagia di awan keabadian.
Musim panas 1871. Saat usiaku 16 tahun, aku tinggal bersama ibu disebuah gubuk kecil di gang sempit di kota Vienna. Kota yang selalu terasa hangat, namun tetap keras bagi kehidupan kami.
Sepeninggal ayah. Ibu yang bekerja membanting tulang mengganti ayah. Agak susah memang bekerja di vienna bagi seorang wanita. Apalagi proporsi ibuku yang sangat gemulai. Hanya satu yang bisa dia kerjakan, yeah apalagi kalau bukan menjadi wanita penghibur.
Ibu tidak lagi memikirkan kehidupanku sejak 16 tahun lalu. Semenjak berita karamnya kapal ayah pada badai samudra pacifik 16 tahun lalu. Saat aku baru lahir. Jadi, yeah beginilah aku. Hidup di alam, dibesarkan oleh langit, berpikir dengan idealis pada hidup dan kehidupan.
Aku pulang ketika petang. Tidak seperti malam malam biasanya. Ibu sudah berada di rumah.
"Vanessa" panggil ibu. Dia duduk di meja makan dengan setumpuk kertas. "Kau sudah pulang nak?" Tanya ibu. Aku mengangguk.
Ibu menyodorkanku sebuah surat. Aku yakin itu dari pelanggan ibu yang mabuk kepayang memuji permainan ibu. Surat yang memang selalu terkirim yang berisi kata kata erotis.
Ibuku tidak bisa membaca apalagi menulis. Pendidikan juga tidak affort untuk masyarakat rendagan seperti kami.
Tapi aku bisa membaca. Aku belajar membaca dari rekan rekanku yang mengenyam pendidikan. Selain membaca aku juga bisa berhitung. Hal yang sangat langka bagi masyarakat eropa apalagi kalangan rendahan seperti kami.
Dier Evelyna Madison
Kabarku baik saja. Bagaimana kabarmu? Lama sekali kita tidak bersua. Kuharap kau bahagia sekarang.
Aku menerima undangan kunjungan yangkau kirim sebelumnya. Aku sangat bahagia kau mengundangku ke pondokmu. Mengingatkanku akan mendiang Joshua sahabatku. Oh ya? Anak gadismu itu, dia tumbuh dengan baik bukan. Aku yakin dia secantik engkau, dan memiki mata biru yang damai seperti Joshua.
Siapa sebenarnya orang itu. Tidak seperti biasanya tamu ibuku membicarakan aku. Maksudku rata rata tamu ibu selalu menulis surat erotis. Namun mengapa surat ini terasa hangat dan nyaman ketika membacanya.
Aku yakin sekarang usianya 15 atau 16 tahun. Waktunya dia menjadi seorang wanita yang bijaksana.
Aku berhenti membaca surat dan menatap wajah ibu.
"Apa ini artinya?" Tanyaku pada ibu. "Kau tidak berpikir akan menjualku kan?"
Ibu tertawa. "Tentu saja tidak anakku. Dia paman Ziyan, kau tidak mengingatnya? Kau sangat menyayanginya dahulu" ujar ibu membuatku bernapas lega.
"Lalu kenapa kau mengundangnya?" Tanyaku.
"Hah" ibu menarik napas panjang. "Kau tahu kehidupan di Vienna sangat kerasa sekarang. Ibu berpikir kita bisa tinggal bersama paman Ziyan. Dia mengirimiku surat yang dibaca mr. Pill tempo hari. Dia menawarkan tempat tinggal untuk kita. Di praha" jelas ibu.
"Lalu bagaimana denganmu. Maksudku? Bagaimana pekerjaan ibu?" Tanyaku.
"Ibu bekerja untuk dia" ujar ibu dengan senyuman genit.
Itulag ibuku. Tidak bisa hidup tanpa sex. Aku melanjutkan membaca surat dari Paman Ziyan. Kata katanya manis, tidak ada subjek sex didalamnya.
Salamku yang terhangat, zyan abraham.
Aku tidak begitu mengingat paman Zyan. Yeah ayahku memiliki banyak teman. Dan ayah meninggal ketika aku masih berumur 8 tahun. Tentu saja aku tidak bisa mengingat teman teman ayah. Mungkin hanya beberapa yang sering tidur dengan ibu selebihnya aku tidak tahu.
Pagi datang. Pagi pagi sekali aku di bangunkan oleh suara dengusan Aron. Dia adalah kuda hitam jantan peninggalan ayah yang kupunya.
Aku segera kekandang. Melihat Aron sudah terkapar. Dia memang sudah tua, 26 tahun umurnya. Matanya hanya menatap kosong, dengan napas yang tersengal sengal. Aku berusaha untuk tetap membuatnya tersadar.
Satu
Dua
Tiga
Berlahan kata itu tertutup. Berlahan napas itu hilang. Berlahan kandang menjadi redup. Aron telah tiada, dia pergi tanpa mendapatkan sarapan paginya. Dia pergi tanpa berpamitan denganku dan ibu. Sama seperti ayah yang pergi tanpa memelukku dan tanpa menghabiskan ssrapan paginya. Aku menangis.
Dengan sekuat tenaga aku mengangkat badan Aron yang bobotnya hampir dua kuintal. Aron adalah kuda paling perkasa diseluruh kota Vienna. Aku menaruh aron di atas papan gandum dengan susah payah. Lalu menggeret badannya yang sudah tak.berdaya berjalan keluar kandang. Segera aku membuat lubang dengan skop. Lalu memasukkan Aron ke peristirahatan terakhirnya.
Aku menangis sejadi jadinya. Lalu pulang ketika matahari sudah meninggi diangkasa.
"Kau dari mana saja?" Tanya ibu dengan pakaian yang belum benar dan wajah yang masih berantakan dengan make up yang masih berantakan. Dan rambut yang belum diapa apakan.
"Aron meninggal bu" ujarku bersedih.
"Sudah sudah. Kau sekarang membantu ibu bersolek. Lalu bersihkan rumah dan masak. Petang nanti paman zyan datang" ujar ibu.
"Aku belum mandi" ujarku.
"Tak perlu mandi. Bantu ibu hurry up" ibu segera berdiri didepan cermin
Aku membenakan korset ibu. Dan rok gawn berwarna merah menyala itu. Kutali rapat rapat perut ibu. Hingga membuat ilusi dia masih gadis, payudara ibu nampak menyundul. Rok transparan yang menghliatankan kaki jenjang ibu.
Selagi aku membenahi pakaian ibu. Ibu sibuk berdandan. Ia menggunakan gincu merah senada dengan warna gaunnya. Setelah Aku selesai membenakkan pakaian ibu. Aku mengisir rambut panjang ibu yang bergelombang.
Aku selelsai tepat waktu namun ibu masih bersolek. Dia benar benar sudah nampak menjadi pelacur.
Aku tidak membencinya, karena tentu saja dia ibuku. Seberapa buruknya dia dimataku dan dimata orang orang dia adalah satu satunya orang yang kupunya saat ini. Ketika ini sakit aku sakit. Ketika ibu tidak bahagia akupun tidak bahagia. Aku menyayangi ibu.
Aku segera membersikan rumah. Mengapu dan meletakkan barang barang di tempatnya. Setelah selesai aku segera kedapur. Menyalakan api di tungku dan memasak.
Tak kurasa hari telah petang.
Tok tok tok
Suara pintu yang diketuk. "Vanessa bukakan pintu cepat" ujar ibu girang. Aku segera berlari berkaca sejenak di kaca sebelah dapur. Melihat cemong cemong hitam diwajah dan pakaianku. Aku nampak berantakan. Sedikit aku mengelap cemong yang ada dipipiku. Kemudian membukakan pintu.
Ceklok
Mata violetnya menatapku sendu. Dengan hidung yang mancung. bibir merah dengan bawahnya yang agak tebal, rahangnya tegas . Rambutnya pirang kecoklatan dipotong rapi dan klimis. Kulitnya memang terlalu pucat untuk seorang caucasian, namun tetap mempesoan. Dan ituaroma tubuhnya. Mungkin itu aroma Vetiver yang tercium maskulin saat bercampur aroma tubuhnya.
"Siapa Vannessa?" Teriak ibu. Aku berdiri diambang pintu masih mengamati pesonanya.
"Aku, zyan Abraham" teriak lelaki itu. Mengamatiku dengan tatapan yang bersahabat. Sesunggung senyum menghiasi wajahnya. Wajahnya terlalu baik seperti malaikat untuk menjadi seorang bajingan yang hanya memiliki nafsu. Aku tersipu
KAMU SEDANG MEMBACA
A Perfect Sin (complete)
Historical Fiction"Aku menyayangimu tapi diluar yang kuketahui. Kau adalah pengganti ayahku, apakah perasaanku ini berdosa?" Vanessa bukan gadis yang mudah ditakhlukan. Tapi, bersama pamannya Ziyan. Vanessa memilih menunggu. Akankah Ziyan tahu persaan kemenakannya i...